Jumat, 11 Maret 2016

Seandainya ...

Ingatanku melayang ke masa tiga tahun silam. Kala itu seorang siswa perempuan, sebut saja Alya, ,kelas X menangis di ruang BK. Ia menyatakan ingin keluar dari sekolah, padahal ia belum menyelesaikan satu semester. Tentu saja ini menjadi perhatian kami semua. Aneh saja. Baru beberapa bulan masuk sekolah sudah ingin keluar.  Kami desak ia untuk menyampaikan alasannya. Ketika ia membeberkan alasannya, kami sulit memahami alasan itu.

Katanya, ia harus pergi ke Lampung untuk menemui seseorang. Katanya pula, orang yang akan ditemui itu adalah calon suaminya. Mereka berkenalan melalui facebook. Ceritanya panjang lebar dan semakin panjang ia berusaha meyakinkan kami, semakin kami merasa aneh dengan cerita itu. Kami berkesimpulan bahwa ia sedang menghadapi masalah besar.



Saya dan seorang teman mendatangi rumahnya untuk home visit. Kami menduga bahwa rencana siswa ini diluar pegetahuan orangnya. Kedatangan kami ke rumah Alya adalah untuk mengklarifikasi apakah orang tuanya mengetahui bahwa anak gadis berniat putus sekolah. Kami sudah membayangkan kedua orang tua Alya kaget  mendengar Keputusan anaknya. Untuk itu kami dengan cermat menyusun kata-kata yang akan kami sampaikan agar tidak menimbulkan keributan.

Di luar dugaan, ternyata orangtua Alya sudah mengetahui rencana Alya. Ibu Alya bahkan menyampaikan bahwa calon menantunya adalah orang yang sudah ia kenal (melalui telepon). Sudah beberapa kali menelpon mereka dan berjanji akan segera meminang anak gadisnya.

"Mereka berjodoh bu. Mereka mempunyai tanda lahir yang harus disatukan" kata si ibu dengan suara mantap yang  diiyakan oleh suaminya.

Pufft. Ini benar-benar di luar dugaan. Kami saling berpandangan dan kehilangan kata-kata. Akhirnya kami mencoba mengorek sampai dimana keyakinan mereka. Kami juga menyampaikan kasus kasus penculikan yang dimulai dari media sosial. Tapi mereka tetap tak bergeming. Mereka yakin bahwa apa yang dilakukan Alya adalah catatan takdir yang tak bisa ditolak.

Usaha kami tak berhenti sampai di sini. Beberapa teman yang menurut kami bisa menaklukkan hati keduanya,  kami pertemukan. Harapan kami, orangtua Alya mau meninjau kembali keputusan men-DO-kan anaknya.

Usaha kami sia-sia. Endingnya, orangtua Alya malah meminta proses mutasi dipercepat karena mereka sudah menyiapkan tiket keberangkatan anaknya ke Lampung.  Informasi yang mereka peroleh, sang calon menantu mengalami kecelakaan di Jakarta ketika melakukan perjalanan meminang Alya,  dan harus segera diselamatkan. Hah...benar-benar seperti dongeng pengantar tidur.

Setelah berbagai cara kami lakukan dan tidak berhasil, kamipun angkat tangan. Mutasi diproses dan kami kehilangan kontak dengan mereka.

Siang ini, setelah tiga tahun berlalu,aku mendengar berita bahwa ayah Alya baru saja meninggal. Beberapa bulan terakhir ibuny sakit sakitan dan beberapa kali harus dirawat di rumah sakit. Kemarin, Alya pulang dengan menggendong seorang anak, tanpa disertai suaminya. Aku melongo. Jadi selama ini, sejak tiga tahun yang lalu,  Alya tak pernah pulang.  Kepulangannya kini, ia sudah kehilangan ayahnya yang mungkin selama sangat mengkhawatirkan dirinya.

Aku jadi berandai-andai. Kalau saat itu Alya tidak memaksa DO mungkin saat ini sedang mempersiapkan ujian pengakhiran. Sama seperti teman-temannya, ia sibuk mengikut tes perekrutan tenaga kerja, mengikuti wawancara kerja dan menyongsong masa depan yang lebih baik. Seandainya kedua orangtua Alya tidak mengijinkan Alya pergi, mungkin mereka akan melihat anaknya berbaju koki dan menjadi chef yang membanggakan.

Ah seandainya ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar