Hari ini, salah
seorang sahabatku mengeluhkan rasa malas. Katanya: gimana sih caranya mengatasi rasa malas. Ah rasanya
setiap orang pasti pernah (sering) dihinggapi perasaan yang satu ini. Malas!!.
Ogah ngapa-ngapain. Bawaannya pengen bengong aja. Duduk, berbaring atau
tidur-tidur ayam. Tahu sih bahwa masih banyak tugas yang harus dikerjakan. Tapi
kenapa ya berat banget buat ngerjainnya. Jadi deh kita benar-benar diam di
tempat, melewatkan semua tugas.
Aku
juga sering dihinggapi rasa malas seperti itu. Padahal, seringkali, setelah semua
berlalu, kerasa banget nyeselnya. Misalnya ketika rasa malas itu menghinggapiku
di saat koreksian menumpuk. Biasanya hal ini terjadi di minggu-minggu
ulangan. Aku mengajar di beberapa kelas dan biasanya jadwal ulangan bersamaan
dalam satu minggu. Mengoreksi pekerjaan lebih dari tigaratus kertas kerja dalam
waktu hampir bersamaan adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Apalagi kalau
tulisan mereka (maaf) tidak terbaca karena terlalu bagus atau terlalu jelek. Padahal
pekerjaan masih terus berlanjut. Karena setelah koreksi harus dilakukan
analisis terhadap hasil ulangan mereka. Memilah siapa yang harus mendapatkan
program remidi dan siapa yang sudah tuntas. Menyiapkan soal-soal remidi dan
seterusnya. Aduh... mengingat semua pekerjaan itu membuat semangat benar-benar
drop.
Balik
ke rasa malas tadi. Bagiku, aku setuju dengan kata-kata bijak yang mengatakan
bahwa rasa malas adalah penghambat utama bagi seseorang untuk mencapai
tujuannya. Dan setelah melalui riset yang cukup mendalam pada diri sendiri aku
mencatat beberapa hal yang menjadi pemicu utama mengapa aku terjebak dalam rasa
malas itu.
Pertama
karena tugas-tugasku GJ. Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan tetapi
semuanya tidak detail. Suatu saat aku ingat bahwa masih banyak pekerjaan yang
harus aku selesaikan. Pada saat lain, aku tidak mengingat satupun tugas yang
harus kukerjakan. Jadi boleh dibilang kesadaran akan tugas-tugas itu timbul
tenggelam. Ingat – tidak ingat – ingat – tidak ingat – dst. Saat tidak ingat
tugas, aku santai sekali. Tapi disaat ingat tugas-tugas itu aku jadi stress.
Terlalu banyak tugas dan aku tidak tahu tugas mana yang harus aku kerjakan
lebih dulu. Disinilah titik munculnya rasa malas itu.
Kedua,
boring. Terlalu lama dalam rutinitas. Mengerjakan pekerjaan yang sama terus
menerus. Ada kalanya pekerjaan yang datang itu harus dikerjakan dalam durasi
yang panjang. Kalau sudah datang pekerjaan yang seperti itu, boringpun tidak
bisa dihindari dan muncullah rasa malas itu
Ketiga,
sering muncul perasaan: aman. Begini, ketika ada kesadaran untuk mengerjakan
tugas, seringkali nyelonong perasaan seperti ini, tenang.... tenang. Nyantai
aja, Belanda masih jauh. Toh deadlinenya masih lama. Toh bisa dikerjakan nanti
setelah ini. Toh cuma tinggal ngeprint saja. Dan seterusnya dan seterusnya. Perasaan
itu seolah-olah membelai, menghibur dan membuatku merasa nyaman meski
mengabaikan tugas.
Di sini, aku merasa bahwa di dalam tubuhku ada dua kekuatan yang
sama-sama berebut pengaruh. Yang satu mengajakku melakukan tugas yang satu lagi
mengajakku mengabaikannya. Kunamakan saja kekuatan pertama itu sebagai kekuatan
negatif sedangkan kekuatan kedua kunamakan kekuatan positif. Munculnya kekuatan
negatif itulah yang memicu rasa malasku.
Berdasarkan
ketiga hal itu, aku harus waspada begitu rasa malas itu muncul. Aku harus
mengenali munculnya rasa malasku itu disebabkan karena apa. Untuk mengatasi
rasa malas yang disebabkan karena overlapping tugas-tugas, aku harus mendata semua tugas dan menetapkan
dengan tegas target waktunya. Untuk ini aku mengandalkan program “to do” di HP
ku. Kutuliskan semua tugas yang harus kukerjakan. Ketentukan kapan waktu
kulaksanakan tugas itu. Setiap saat kubuka catatan itu sehingga aku seperti
diingatkan untuk melakukan tugas-tugasku. Kupilih tugas-tugas yang paling
ringan dan memungkinkan untuk kukerjakan saat itu. Misalnya untuk beberapa
tugas seperti: “bayar telpun” , “ke apotik”, “belanja” dan “tarik tunai” bisa
kukalukan sekali jalan. Untuk setiap tugas yang berhasil kuselesaikan hari itu,
kuhapus dan kusisakan tugas-tugas yang belum kukerjakan. Untuk tugas yang belum kukerjakan hari itu,
kuperbaiki tanggal pelaksanaannya. Ia akan menjadi tugas yang harus kukerjakan
esok hari. Setiap malam kutambahkan tugas baru. Kuperbaiki tanggal
pelaksanaannya dan kuperiksa setiap saat. Ini membuatku merasa sedikit enteng. Yang
membuatku senang adalah ketika aku berhasil men-delete satu tugas. Rasanya plong...
banget.
Rasa
malas tidak selamanya hilang meskipun aku sudah memanage tugas-tugasku dengan
baik. Rasa malas itu muncul kembali ketika tugas-tugas itu kurasakan terlalu
monoton. Untuk rasa malas yang seperti ini, kuhalau dengan cara meramu
tugas-tugas itu dengan aktivitas lain yang menarik seperti mendengarkan musik
atau nonton TV. Kadang-kadang juga dengan cara “sengaja keluar dari tugas”. Melakukan
sesuatu yang bisa membuat fresh. Istilahnya nge-charge energi agar kembali
pulih. Cuma yang sering jadi masalah, nge-charge-nya kebablasan. Lost control
deh jadinya. Maka sebelum kebablasan buru-buru deh kembali ke “list to do”.
Yang
paling sulit adalah bila rasa malas itu karena pengaruh kekuatan negatif yang
munculnya dari dalam. Mau tidak mau aku harus melawannya. Caranya? Aku rajin
membaca buku. Menyimak kisah orang-orang sukses. Dengan menyimak kisah orang-orang
sukses itu mau tidak mau akan timbul
rasa iri dan tidak puas dengan keadaan diri
sendiri saat ini. Orang-orang sukses selalu mempunyai mental baja dan bisa
mendisiplinkan diri sendiri. Sikap itulah yang kuharapkan dapat menginspirasiku
untuk menghilangkan rasa malas itu.
Ada cara lain yang lebih jitu untuk menghalau malas? Boleh donk share di sini!