Hari ini ada
peristiwa memilukan. Salah seorang siswa diminta pulang ke rumah sebelum
waktunya karena sang ibu meninggal dunia. Bukan karena sakit, tetapi karena
kecelakaan saat sang ibu akan pergi bekerja. Menurut informasi yang saya
terima, pagi tadi kira-kira jam setengah tujuh, Pak X, ayah siswa tersebut
mengantar istrinya (ibu siswa) pergi bekerja. Ibu siswa ini bekerja sebagai
karyawan sebuah home industri produsen makanan khas Blitar, Opak Gambir. Jarak
antara rumah mereka dengan tempat si ibu bekerja tidak terlalu jauh. Kurang lebih
2 kilometer. Untuk sampai ke tempat pekerjaannya itu mereka harus melewati
jalan utama yang pada pagi hari selalu padat kendaraan.
Saat akan
menyeberang jalan, suami istri yang berboncengan naik sepeda motor ini
tertabrak kendaraan dari belakang. Akibat kecelakaan itu mereka berdua
terjatuh. Sang ibu meninggal saat dilarikan ke rumah sakit, sedangkan sang ayah
pingsan dan menderita luka-luka di pelipis dan kakinya.
Berita segera
sampai ke sekolah. Seseorang yang menyatakan sebagai keluarga korban menjemput
ke sekolah dan mengabarkan terjadinya peristiwa tersebut. Pihak sekolah
menyanggupi untuk mengantarkan siswa karena dikhawatirkan siswa tidak bisa
mengendalikan emosi.
Peristiwa
tersebut mengingatkanku pada kejadian tigapuluh tahun yang lalu. Aku masih
ingat, saat itu bulan Oktober. Aku duduk dibangku kelas III SMP, semester lima.
Pagi itu pelajaran matematika. Gurunya bernama Pak Rifai. Guru matematika yang
sangat pendiam. Saat kami asyik mengerjakan soal, Pak Bon datang mengetuk pintu dan membawa surat
panggilan. Beberapa saat kemudian Pak Rifai memanggil namaku. Aku diminta maju
ke depan. Kata pak Bon, aku harus ke kantor, menemui kepala sekolah.