Minggu, 13 Maret 2016

Hidup, Sebuah Perjalanan



      Sore hari jam 15.00. Ami baru ingat kalo dia mendapat tugas membuat kliping Bahasa Jawa. Ia minta aku mengantarnya membeli Jaya Baya bekas. Dimana lagi membelinya kalau bukan di Blitar. Yah, yang paling gampang, memang langsung ke Blitar. Di Jalan Semeru, di depan toko buku Restu, pernah kulihat berjejer-jejer penjual majalah bekas.
      Jarak rumah kami ke Blitar kurang lebih 12 km. Karenanya gak mungkin menempuh jarak sejauh itu hanya untuk membeli majalah bekas seharga 2000. Agar tidak nanggung, aku mulai mendata beberapa keperluan. Diantaranya: aku harus menarik uang dari mesin atm, memperbaiki tas Ami yang resluitingnya rusak, pres mika ijazah Ami dan membeli majalah bekas.

      Tujuan sudah diidentifikasi. Selanjutnya menentukan rute perjalanan agar hemat waktu dan bensin. Aku mulai membayangkan tempat-tempat yang harus ku tuju untuk menyesuaikan rute yang akan kutempuh.
      Mula-mula aku akan menarik uang di mesin atm pom dekat rumahku, kemudian menyusuri jalan utama arah blitar. Membeli resluiting di Jl Mayjen Sungkono. Toko itu berseberangan dengan Wijaya fotokopi. Sekalian pres mika ijazah Ami. Pertigaan depan Wijaya Fotokopi ke Barat lurus sampai Jalan Semeru, membeli majalah bekas. Urusan selesai, pulang.
      Setelah tujuan dan rute perjalanan ditentukan akhirnya kami, aku dan Ami berangkat. Seperti biasa, Ami menyiapkan segala sesuatu yang harus kami bawa. STNK, dompet, kartu atm dan tas yang akan diperbaiki dipastikan terbawa. Bensin yang ada di tangki motor juga dipastikan cukup untuk perjalanan pulang pergi.  Jarum bensin tepat di strip merah. Kalau rute sesuai rencana kami masih aman. Tak akan kekurangan bensin sampai kembali kerumah.
      Sesuai rencana, tempat yang kami singgahi pertama kali adalah mesin atm. Sayang, Sampai disana kami dapati mesin atm rusak. Rencana pertama gagal. Harus dicari mesin atm lain. Akupun berpikir keras mengingat ingat mesin atm di Blitar. Tentu saja yang posisinya mendukung rute kami. Setelah berpikir keras, muncul ide untuk menyinggahi mesin atm Mandiri di Jl Merdeka. Berarti harus sedikit mengubah rute. Tak apa. Tidak terlalu melenceng dari rencana semula.
      Kupacu supra fit ku menyusuri Jl supriadi. Selanjutnya belok kanan ke Jalan Mayjen Sungkono. Beli resluiting tas. Sambil menunggu dilayani pandangan mata mulai melayang-layang. Segala macam pernak-pernik terlihat semua. Jadi keingat pengen beli benang sulam dan midangan. Ami beli benang jahit, jarum pentul dan peniti kerudung. Hemh anggaran bengkak nih.
        Keluar dari toko, pikiranku dipenuhi rencana menarik uang di mesin atm Mandiri. Biasanya aku menarik uang dimesin atm BCA. Kalau narik di atm Mandiri di charge gak ya. Kata customer service sih gak. Tapi perlu dibuktikan nih. Ok kalau begitu aku harus melakukan 2 kali penarikan. Dengan membandingkan saldo setelah penarikan kedua dan pertama aku akan tahu ada charge atau tidak. Kulakukan penarikan uang seperti yang kurencanakan. Sip, eksperimenku menunjukkan tak ada charge untuk penarikan di atm Mandiri. Ilmu baru nih.
      Dari Bank Mandiri, kembali kami menyusuri Jl Merdeka. Saat melewati alon-alon Ami mengucapkan istighfar lumayan keras, pertanda sesuatu telah terjadi.
      "Kita lupa mampir Wijaya buat pres mika ijazah"
      Ups iya lupa. Padahal tadi sudah berhenti didekat sana. Ini karena aku fokus pada penarikan uang. Harus dicari alternatif lain. Ok!! Di pres mika di Jl Supriadi saja. Mudah-mudahan ada Fotokopian yang buka.
      Perjalanan diteruskan ke penjual majalah bekas. Kuarahkan motorku ke jl Semeru. Beberapa kios majalah bekas tutup. Untung masih ada satu yang menggelar dagangannya. Ami turun, menanyakan apakah ada majalah Jaya Baya bekas. Penjual yang masih sibuk melayani pembeli memberi isyarat dengan anggukan kepala dan menunjuk ke suatu tempat. Ami tanggap. Ia menghampiri kantong plastik berisi majalah bekas. Rupanya di situ penjual menyimpan majalah yang diinginkan Ami. Transaksi dilakukan Ami sendiri. Aku hanya memperhatikan di atas motor saja.
       Rencana untuk langsung pulang jadi urung karena harus pres mika ijazah Ami. Kami lanjutkan perjalanan melewati Jalan Supriadi, mencari fotokopian untuk pres mika ijazah Ami. 
       Kalau dipikir-pikir hidup itu bisa diibaratkan seperti sebuah perjalanan. Ya. Seperti perjalanan yang baru saja kulakukan. Hidup kita ini seperti sebuah perjalanan. Maka setiap orang seharusnya mengenali tujuan hidupnya. Seperti orang yang sedang berjalan, ke mana tujuan akhir dari perjalanaan kita. Lah kalau kita saja nggak tahu kemana arah tujuan kita, bagaimana kita mau menentukan strateginya. Bagaimana kita memperkirakan di tempat mana kita akan singgah untuk sekedar mengisi bahan bakar atau melepas penat misalnya.
        Yup. Tujuan hidup itu sangat penting untuk menyusun strategi. Tujuan hidup harus diidentifikasi. Kalau perlu dibuat sedetail mungkin. Semakin detail tujuan hidup kita semakin dekat kita dengan apa yang hendak kita capai. Strategi yang kita susun untuk mencapai tujuan hidup akan ngalir begitu tujuan hidup itu jelas. Seperti misalnya kalau kita ingin mengabdikan hidup kita di dunia kesehatan, ya tinggal masuk saja di Fakultas kedokteran. Gak ketrima melalui jalur SNMPTN? Lewat jalur Mandiri. Tetap gak diterima juga, masuk PTS. Gak ada biaya? Ya coba cari yang lebih ringan. Belajar ilmu pengobatan tradisional atau sejenisnya. Untuk tujuan yang jelas, selalu ada strategi yang bisa ditempuh. Akan berbeda halnya kalau tujuan hidup gak jelas. Gak tahulah mau jadi apa, yang penting hidup. Itu sih konyol namanya.
        Selanjutnya strategi. Strategi ini muncul setelah tujuan hidup ditentukan. Pepatah bijak mengatakan, banyak jalan menuju Roma. Kejauhan ah. Kita ubah saja pepatah bijaknya. Banyak jalan menuju Jakarta. (Jakarta kan ibukota negara kita). Kita bisa sampai ke Jakarta dengan menggunakan berbagai alternatif alat transportasi. Yang suka naik kereta bisa memilih mau naik kereta yang eksklusif, yang bisnis atau yang kelas ekonomi. Yang suka naik Bus bisa menggunakan Bus yang biasa atau yang Wah. Yang berduit bisa naik pesawat. Arahnya juga jelas. Bagi orang yang berada di sebelah barat Kota Jakarta harus berjalan ke arah Timur. Yang berada di sebelah timur kota Jakarta harus berjalan ke Barat. Begitu seterusnya.
        Strategi hidup membuat kita fokus dengan tujuan hidup. Sekali waktu mungkin kita lengah dengan tujuan hidup kita. Ada strategi yang kelewatan atau nggak bisa dijalankan?. Tidak masalah. Selama kita masih bisa mengenali tujuan hidup kita, kita masih bisa memperbaiki atau merekonstruksi strategi kita.
        Yang menjadi permasalahan bagi kebanyakan orang adalah tujuan hidup yang tak teridentifikasi dengan jelas. Atau, kalaupun kita punya tujuan hidup, tujuan hidup itu masih abstrak. Nggak jelas. Atau kalau kita punya tujuan hidup yang jelas kita lupa menyusun strategi yang matang untuk mencapainya. Sehingga dalam perjalanan kita sering lengah. Bukannya berjalan ke arah tujuan hidup melainkan melenceng ke arah yang lain. Wah... nyasar donk namanya.
        Sudah mengidentifikasi tujuan hidup? Kalau belum, tampaknya belum terlambat untuk melakukannya. Sekaranglah saatnya. Yah sekarang!!
        S e k a r a n g!!!
        Salam
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar