Rabu, 05 September 2012

Nyamankah Hidup Kita?


sumber gambar
Pembelajaran penting yang jarang kita sadari selama ini adalah belajar berinteraksi sosial. Sekian tahun kita belajar dibangku sekolah, kita hanya terfokus pada materi-materi ajar yang memang sangat penting dalam karier kita. Tetapi dalam kehidupan sosial, ternyata menguasai materi-materi yang kita terima dibangku sekolah saja tidak bisa membuat hidup kita terasa nyaman. Hubungan yang harmonis dengan lingkungan tak bisa diabaikan.
Adalah sifat dasar setiap manusia merasa dirinya paling baik, paling benar, paling bijaksana, paling dermawan dan paling-paling yang lain.  Sifat dasar manusia juga tidak mau dicela atau direndahkan. Nah kalau semua orang beranggapan seperti itu, kemana lagi ujungnya kalau bukan konflik. Meski tidak semua konflik jelek, tetapi terlalu sering menghadapi konflik (apa lagi kanflik antar pribadi) adalah indikator bahwa seseorang gagal membangun hubungan sosial yang baik.
Pembelajaran ini sebetulnya melekat dalam diri kita setiap saat sejak kita lahir ke dunia. Ironisnya, kita sering mengabaikannya. Padahal (dari buku yang pernah aku baca) kemampuan kita membangun hubungan sosial akan menentukan kualitas kita sebagai manusia dan kualitas kehidupan kita sebagai manusia. Dan faktanya pembelajaran membangun hubungan sosial ini tak akan pernah berakhir sebelum manusia dijemput ajal. Kalau kita mencermati perkembangan psikososial erikson yang 8 tahap itu, kita akan tahu bahwa psikososial manusia itu terus menerus mengalami perkembangan. Pada tahap terakhir, terjadi pada akhir kehidupan manusia, yaitu tahap Integrity vs depair, manusia baru akan menyadari apakah ia berhasil atau gagal dalam hidupnya. Dan masa itu terjadi setelah manusia melewati 7 tahap perkembangan sebelumnya.
Sementara kita tidak pernah peduli sampai dimana tahap perkembangan psikososial kita. Bisa jadi tidak ada kesesuaian antara usia kita dengan tahap perkembangan yang seharusnyapun kita tidak tahu. Misalnya usia kita yang seharusnya berada di tahap ke 7 tetapi psikososial kita masih berada di tahap kelima.
Belajar memahami orang lain itu penting. Belajar menghargai orang lain itu juga penting. Belajar menyesuaikan antara hak dan kewajiban apa lagi. Lebih-lebih belajar mengkomunikasikan ide kepada orang lain. Kegagalan kita memahami orang lain, menghargai orang lain, menyesuaikan hak dan kewajiban, mengkomunikasikan ide dan hubungan sosial yang lain akan membuat kita mudah terjebak dalam konflik. Dan seringnya muncul konflik akan membuat hidup kita menjadi tidak nyaman.
Contoh sederhana gagalnya suatu hubungan sosial.
Ada dua orang yang sedang menghadapi konflik. Sebut saja Hani dan Suci. Hani adalah seorang bendahara di sebuah koperasi. Suci adalah nasabah di koperasi itu. Suci pinjam uang dan sebelum cicilannya lunas, dia sudah pinjam lagi. Saat ditagih, ia selalu berkelit. Singkat cerita menurut Hani, Suci ini adalah kreditor nakal. Nah dalam suatu kesempatan Hani bercerita kepada sahabatnya, sebut saja Sandra. Dia ceritakan kenakalan Suci ini kepada Sandra.
Pada saat Sandra bertemu dengan Suci, Sandra menyampaikan semua yang ia dengar dari Hani kepada Suci. Suci marah. Bisa diduga adegan setelah itu. Keduanya terlibat konflik yang sangat hebat.  Padahal, sebetulnya konflik antara Sandra dan Suci tak akan terjadi bila Sandra tidak membocorkan apa yang iadengar  kepada Suci. Dalam hal ini Sandra bukanlah orang yang berkepentingan. Tidak membocorkan apa yang didengarnya pun tidak akan membuatnya rugi. Tetapi ketika hal itu ia lakukan dengan dalih ia soulmate-nya Hani, konflikpun tak bisa dihindari.
Dalam kehidupan nyata, cerita di atas seringkali terjadi. Permasalahan sederhanapun menjadi sangat rumit dan menciptakan konflik yang berkepanjangan. Ujungnya kita yang terlibat didalamnya menjadi tidak nyaman.
Menghindari konflik? Sangat tidak mungkin. Karena dunia ini memang sumber konflik. Saat pertama kali manusia diciptakan, konflik sudah ada. Ingat cerita habil dan Qobil. Tetapi manusia yang arif adalah manusia yang bisa menempatkan konflik sebagai media pembelajaran. Manusia yang arif adalah manusia yang berkontribusi menyelesaikan konflik, bukan sebaliknya berkontribusi membuat konflik.
(Jadi ingat kisah istri Abu Lahab, si perempuan pembawa kayu bakar. Semoga Allah menghindarkan kita dari perangai seperti itu, amin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar