Minggu, 21 Februari 2016

Ketika Mati Lampu

Minggu,  21-2-2016

Pet.  Mati lagi.  Aku masih terbirit birit menuju abang sayur dan belum sampai.  Serentak beberapa perempuan sebayaku berteriak.  Aduh,  gak punya air. Aduh belum masak.  Aduh cucianku. Huuaa,  semua berteriak. Masalahnya juga mati lampu ini sudah dimulai sejak kemarin siang,  tengah hari dan baru nyala tadi malam tengah malam juga. Nyala beberapa jam,  disaat kami tertidur pulas dan ketika kami harus memulai aktifitas mati lagi.  Beberapa perempuan mengomel panjang lebar mengutuk PLN. Ya tentu saja PLN memang yang harus bertanggungjawab dalam hal ini, karena rakyat sudah mengamanahkan urusan perlistrikan ini padanya.

Mati lampu-pln-Dahlan Iskan,  itu yang ada di  otakku kemudian.  Aku pernah baca buku berjudul Dua Tangis Ribuan Tawa yang berisi tulisan DI saat menjadi Dirut PLN. Dalam buku itu diuraikan bagaimana ia berbenah dan berjuang keras untuk menghindari mati lampu.  Dan menurutku dalam kurun waktu itu aku memang tidak lagi uring uringan karena mati lampu.  Keduanya seperti nyambung saja.  Pembenahan managemen dan sistim vs PLN on terus.  Angkat topi deh buat DI.

Itu tadi DI vs PLN,  sekarang DI vs tulisan.  Siapapun tahu kalau bos Jawa Post itu piawai menulis. Ringan,  lincah,  renyah,  gurih,  kriuk kriuk atau apalah namanya, yang pasti baca tulisan DI itu tuman krasan.  Sampai sampai aku berlangganan lewat email. Wah bangga setiap kali dapat email tulisan baru DI.  Seperti dapat surat pribadi.  Padahal DI tak pernah mengenalku.

Hebatnya,  setiap kali baca tulisan DI aku selalu ingin menulis.  Tiba tiba ide itu muncul dan segera ingin memuntahkannya lewat tulisan. Pagi ini,  hanya gegara mati lampu aku jadi ingat  DI dan tiba tiba saja neg,  pengen muntah.  Nah,  inilah muntahanku.
#nulissetiaphari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar