gambar diambil dari sini
Menjadi nasabah BRI itu harus sabar, itu kesimpulan dan petuahku untuk diriku sendiri. Itu karena seringkali aku harus meluangkan waktu ekstra untuk
menyelesaikan urusan di sana. Mungkin jumlah tenaga yang terbatas. Mungkin
sarana yang ada terbatas. Mungkin jumlah nasabah yang terlalu banyak. Mungkin
permasalahan yang dihadapi lebih kompleks. Karena kan BRI ini melayani segala
lapisan masyarakat. Baik yang sudah benar-benar melek teknologi maupun yang
masih agak melek teknologi.
Meski sering mengeluh (dalam hati) tapi banyak hal penting
yang terjadi dalam hidupku berkaitan dengan BRI ini. Aku mengajukan kredit
pertama kali di BRI. Mengikuti tahap demi tahap dan yang masih kuingat adalah
petuah dari seorang mantri BRI. Ia menasehatiku
bagaimana cara berhutang tapi tidak sampai dililit hutang.
Aku juga pernah secara tiba-tiba mendapat pemberitahuan
mendapatkan hadiah undian, sebuah kulkas. Padahal tabungan itu sudah lama
sekali kuabaikan. Ceritanya waktu itu karena aku sudah beralih ke bank lain.
Masalahnya ya itu tadi, nggak sabar mengantri.
Belakangan karena suatu
kepentingan, aku harus mengaktifkan kembali rekening BRI. BRI era kini. Sudah menerbitkan ATM. Hal ini
membuat beberapa transaksi dimudahkan.
Transfer atau tarik tunai bisa menggunakan mesin ATM sehingga tidak harus
mengantri. Masalah klasik (mengantri)
itu juga membuat aku nekat mengaktifkan
IB BRI. Wah ini lebih mudah lagi. Serasa
mempunyai mesin ATM di rumah. Mau transfer dana atau melakukan berbagai
pembayaran bisa dilakukan dari
rumah.
(Sekali lagi itu semua
terinspirasi juga dari “ogah antri”).
Tetapi, masih ada satu hal yang tidak bisa dihindari dari antri mengantri ini, yaitu setor tunai. Jadi untuk urusan yang satu ini harus di ikhlaskan untuk menjadi pengantri yang sabar. Akhirnya jadi mikir-mikir lagi, gimana caranya agar tidak terlalu lama ngantri. Juga kalau terpaksa ngantri gimana caranya untuk merintangi waktu agar tidak jenuh mengantri.
Yang pertama bersahabat dengan Pak Satpam. Minta informasi saat-saat sepi dan saat-saat
ramenya kapan. Terus sekalian minta diambilkan nomer antrian. Persahabatan ini lumayan juga untuk
memperpendek waktu bengong di ruang tunggu BRI
Yang kedua, membawa netbok yang terisi penuh baterei. Kalau
pekerjaan sedang menumpuk, sambil nunggu antrian bisa digunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan. Lumayan kan, sambil menyelam minum air. Atau bisa juga
membawa buku untuk dibaca-baca saat
nunggu antrian.
Yang ketiga mencari teman bicara. Nasabah BRI itu banyak
macam ragamnya. Terutama karena yang kukunjungi selalu BRI Unit, maka sebagian
besar nasabahnya orang desa dengan berbagai macam keperluan. Mulai nenek-nenek
yang mengambil uang kiriman anaknya di Luar negeri, peternak atau petani yang mengangsur kredit,
Pengusaha yang melakukan transaksi usaha dan pelajar yang ingin menabung.
Kurasa salah satu penyebab menumpuknya antrian di BRI adalah
masih banyak nasabah yang belum sreg ambil uang lewat mesin ATM. Beberapa kali terdengar mbak teller bertanya
kesal: Kenapa tidak ambil di ATM saja
pak/bu?
Beberapa waktu yang lalu aku duduk didekat dua orang bapak-bapak. Yang satu agak lebih muda,
kira-kira berumur empat puluhan tahun. Yang satunya lebih tua, kira-kira
berumur limapuluhan tahun. Mereka terlibat pebicaraan yang cukup serius.
Rupanya bapak yang lebih muda itu pekerjaannya pengambil nira kelapa. Sedangkan
bapak yang satunya seorang pensiunan pegawai negeri yang punya lahan pertanian
cukup luas.
Seperti seorang pewawancara, bapak pensiunan ini bertanya seputar
pekerjaan bapak pengambil nira kelapa. Pertanyaan itu detail sekali sampai menanyakan berapa penghasilannya
perhari. Fatastis sekali, ternyata
penghasilan si Bapak pengambil nira ini setara dengan gaji pegawai negeri
golongan III/a.
Kujunganku ke BRI yang terakhir kira-kira tiga hari yang lalu. Aku mendapat nomer antrian 107 sementara nomer antrian yang sedang dilayani, 81. Masih ada 26 nasabah. Jumlah ini cukup banyak dan membutuhkan waktu yang lama karena hanya ada satu petugas. Siap-siap bengong dech, pikirku dalam hati.
Malas buka netbook dan baca buku
akupun melirik seorang pengantri di sebelahku, seorang perempua muda. kebetulan
aku kenal dengan perempuan itu. Dia adalah petugas pembayaran telpun. Kelihatannya
dia ingin menyetorkan sejumlah uang perolehan pembayaran telpun. Akupun
berinisiatip mengajaknya ngobrol. Yang
pertama kali kutanyakan adalah: antriannya nomer berapa mbak? Ia menjawab: 106.
Oh berarti aku dan dia terpaut satu angka. Kami sama-sama menunjukkan kartu
antrian.
Sementara di belakangku seorang
perempuan berusia limapuluhan sedang “bertengkar” dengan cucunya. Heboh dan
sangat berisik. Disebelah nenek-cucu itu ada seorang laki-laki duduk
berdampingan dengan seorang perempuan. Mereka
juga terlibat pembicaraan yang sangat asyik. Terbukti keduanya sering tertawa
bersama-sama hingga suara tawa mereka tumpang tindih dengan suara nenek yang
memarahi cucunya itu.
Diantara kami, nenek itulah yang
beranjak lebih dulu. Kemudian perempuan disamping laki-laki persis di bangku
belakangku. Ia beranjak ketika speaker
menyebut angka 104. Kupikir laki-laki itu akan beranjak pada giliran
berikutnya. Ternyata tidak. Seorang perempuan dari bangku belakang maju pada
nomer antrian 105. Setelah itu perempuan di sebelahku. Dalam hati aku bertanya, nomer antrian
laki-laki di bangku belakangku itu nomer berapa, kok gak maju-maju.
Seperti tahu apa yang ada
diotakku, dia bertanya kepadaku: “ Nomer berapa mbak?”
“Nomer 107. Masnya nomer berapa?”
“Nomer 100” katanya sambil
menunjukkan nomer antriannya.
Aku melongo.
“Loh. Tadi kan sudah dipanggil?”
Dia nyengir
“Gak dengar,
keasyikan ngobrol”
Kontan saja
aku tertawa. O alah... dibela-belain nunggu
antrian, malah gak dengar nomer antriannya dipanggil gara-gara keasyikan
ngobrol. Kalau ini sih menurutku konyol sekali. Jangan sampai deh terjadi padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar