Jumat, 17 Januari 2014

Menjadi Nasabah BRI Itu Harus Sabar




  
gambar diambil dari sini

Menjadi nasabah BRI itu harus sabar, itu kesimpulan dan petuahku untuk diriku sendiri.  Itu karena seringkali  aku harus meluangkan waktu ekstra untuk menyelesaikan urusan di sana. Mungkin jumlah tenaga yang terbatas. Mungkin sarana yang ada terbatas. Mungkin jumlah nasabah yang terlalu banyak. Mungkin permasalahan yang dihadapi lebih kompleks. Karena kan BRI ini melayani segala lapisan masyarakat. Baik yang sudah benar-benar melek teknologi maupun yang masih agak melek teknologi.


Meski sering mengeluh (dalam hati) tapi banyak hal penting yang terjadi dalam hidupku berkaitan dengan BRI ini. Aku mengajukan kredit pertama kali di BRI. Mengikuti tahap demi tahap dan yang masih kuingat adalah petuah dari seorang mantri  BRI. Ia menasehatiku bagaimana cara berhutang tapi tidak sampai dililit hutang. 

Aku juga pernah secara tiba-tiba mendapat pemberitahuan mendapatkan hadiah undian, sebuah kulkas. Padahal tabungan itu sudah lama sekali kuabaikan. Ceritanya waktu itu karena aku sudah beralih ke bank lain. Masalahnya ya itu tadi, nggak sabar mengantri.

Belakangan  karena suatu kepentingan, aku harus mengaktifkan kembali rekening BRI.  BRI era kini. Sudah menerbitkan ATM. Hal ini membuat  beberapa transaksi dimudahkan. Transfer atau tarik tunai bisa menggunakan mesin ATM sehingga tidak harus mengantri.  Masalah klasik (mengantri) itu juga membuat aku nekat  mengaktifkan IB BRI.  Wah ini lebih mudah lagi. Serasa mempunyai mesin ATM di rumah. Mau transfer dana atau melakukan berbagai pembayaran  bisa dilakukan dari rumah.   
(Sekali lagi itu semua terinspirasi juga dari “ogah antri”).

Tetapi, masih ada satu hal yang tidak bisa dihindari dari antri mengantri ini, yaitu setor tunai. Jadi untuk urusan yang satu ini harus di ikhlaskan untuk  menjadi pengantri yang sabar.  Akhirnya jadi mikir-mikir lagi, gimana caranya agar tidak terlalu lama ngantri. Juga kalau terpaksa ngantri gimana caranya untuk merintangi waktu agar tidak jenuh mengantri.

Yang pertama bersahabat dengan Pak Satpam.  Minta informasi saat-saat sepi dan saat-saat ramenya kapan. Terus sekalian minta diambilkan nomer antrian.  Persahabatan ini lumayan juga untuk memperpendek waktu bengong di ruang tunggu BRI

Yang kedua, membawa netbok yang terisi penuh baterei. Kalau pekerjaan sedang menumpuk, sambil nunggu antrian bisa digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan. Lumayan kan, sambil menyelam minum air. Atau bisa juga membawa  buku untuk dibaca-baca saat nunggu antrian.

Yang ketiga mencari teman bicara. Nasabah BRI itu banyak macam ragamnya. Terutama karena yang kukunjungi selalu BRI Unit, maka sebagian besar nasabahnya orang desa dengan berbagai macam keperluan. Mulai nenek-nenek yang mengambil uang kiriman anaknya di Luar negeri,  peternak atau petani yang mengangsur kredit, Pengusaha yang melakukan transaksi usaha dan pelajar yang ingin menabung.

Kurasa salah satu penyebab menumpuknya antrian di BRI adalah masih banyak nasabah yang belum sreg ambil uang lewat mesin ATM.  Beberapa kali terdengar mbak teller bertanya kesal:  Kenapa tidak ambil di ATM saja pak/bu? 

Beberapa waktu yang lalu aku duduk  didekat  dua orang bapak-bapak. Yang satu agak lebih muda, kira-kira berumur empat puluhan tahun. Yang satunya lebih tua, kira-kira berumur limapuluhan tahun. Mereka terlibat pebicaraan yang cukup serius. Rupanya bapak yang lebih muda itu pekerjaannya pengambil nira kelapa. Sedangkan bapak yang satunya seorang pensiunan pegawai negeri yang punya lahan pertanian cukup luas.

Seperti seorang pewawancara, bapak pensiunan ini bertanya seputar pekerjaan bapak pengambil nira kelapa.  Pertanyaan itu detail sekali  sampai menanyakan berapa penghasilannya perhari.  Fatastis sekali, ternyata penghasilan si Bapak pengambil nira ini setara dengan gaji pegawai negeri golongan III/a. 

Kujunganku ke BRI yang terakhir kira-kira tiga hari yang lalu. Aku mendapat nomer antrian 107 sementara  nomer antrian yang sedang dilayani, 81. Masih ada 26 nasabah.  Jumlah ini cukup banyak dan membutuhkan waktu yang lama karena hanya ada satu petugas.  Siap-siap bengong dech, pikirku dalam hati. 

Malas buka netbook dan baca buku akupun melirik seorang pengantri di sebelahku, seorang perempua muda. kebetulan aku kenal dengan perempuan itu. Dia adalah petugas pembayaran telpun. Kelihatannya dia ingin menyetorkan sejumlah uang perolehan pembayaran telpun. Akupun berinisiatip mengajaknya ngobrol.  Yang pertama kali kutanyakan adalah: antriannya nomer berapa mbak? Ia menjawab: 106. Oh berarti aku dan dia terpaut satu angka. Kami sama-sama menunjukkan kartu antrian.

Sementara di belakangku seorang perempuan berusia limapuluhan sedang “bertengkar” dengan cucunya. Heboh dan sangat berisik. Disebelah nenek-cucu itu ada seorang laki-laki duduk berdampingan dengan seorang perempuan.  Mereka juga terlibat pembicaraan yang sangat asyik. Terbukti keduanya sering tertawa bersama-sama hingga suara tawa mereka  tumpang tindih dengan suara nenek yang memarahi cucunya itu. 

Diantara kami, nenek itulah yang beranjak lebih dulu. Kemudian perempuan disamping laki-laki persis di bangku belakangku. Ia beranjak ketika  speaker menyebut angka 104. Kupikir laki-laki itu akan beranjak pada giliran berikutnya. Ternyata tidak. Seorang perempuan dari bangku belakang maju pada nomer antrian 105. Setelah itu perempuan di sebelahku.  Dalam hati aku bertanya, nomer antrian laki-laki di bangku belakangku itu nomer berapa, kok gak maju-maju.

Seperti tahu apa yang ada diotakku, dia bertanya kepadaku: “ Nomer berapa mbak?”
“Nomer 107. Masnya nomer berapa?”
“Nomer 100” katanya sambil menunjukkan nomer antriannya.
Aku melongo.
“Loh. Tadi kan sudah dipanggil?”
Dia nyengir
“Gak dengar, keasyikan ngobrol”

Kontan saja aku tertawa.  O alah... dibela-belain nunggu antrian, malah gak dengar nomer antriannya dipanggil gara-gara keasyikan ngobrol.   Kalau ini sih menurutku konyol sekali.  Jangan sampai deh terjadi padaku.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar