Rabu, 07 November 2012

Karena Kita Adalah Orang Yang Merdeka

gambar dari sini

Kami duduk saling berhadapan. Aku adalah wali kelas dan cowok kerempeng di depanku ini adalah siswa perwalianku. Pertemuan kami pagi ini sebetulnya adalah sebuah perintah. Perintah dari wakasis kepadaku untuk melakukan pembinaan kepada siswa perwalianku. Kesalahan utama cowok ini adalah selalu melanggar aturan sekolah. Tidak menggunakan atribut sekolah dengan lengkap saat mengikuti upacara. Baju tidak dimasukkan saat kegiatan pembelajaran. Sering terlambat dan serentetan pelanggaran yang lain.
Pelaku pelanggaran tata tertib sekolah seperti cowok ini banyak sekali. Menghukum mereka sepertinya tidak membuat mereka jera. Mereka selalu mengulang dan mengulanginya lagi. Pembinaan apa lagi yang harus kulakukan. Yang keras saja tidak mempan apalagi hanya sekedar kata-kata yang bisa saja tidak mereka dengar meski tampaknya mereka dengarkan.
“Boleh tahu nggak, apa alasanmu sehingga kamu sering sekali melanggar aturan sekolah?”
Kulontarkan pertanyaan kepadanya. Pertanyaan yang mungkin tidak penting.
“Saya paling tidak suka disuruh-suruh. Tidak suka diatur-atur. Kalau ada orang mengatur saya, saya merasa orang itu merendahkan saya, dan saya akan melawannya. Agar orang itu tahu bahwa saya bukan orang yang bisa direndahkan”

Kurasa, ia memberi penekanan  pada kata “merendahkan”. Jawabannya yang tak terduga itu membuatku bingung. Tampaknya tidak mudah bagiku untuk membuatnya mengerti mengapa seseorang harus taat pada aturan.
Tapi tunggu sebentar. Kalau kurenungkan apa yang ia katakan, diam-diam aku menyetujuinya.  Maksudku, aku sendiri sering merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan. Ketika ada orang lain yang mencoba mengaturku,  aku seperti wajib untuk melakukan penolakan atas “kesewenang-wenangannya” itu. Emang apa bedanya aku sama dia? Apa urusannya dia berani nyuruh-nyuruh aku, ngatur-ngatur aku. Emang aku pesuruhnya? Emang aku lahir didunia ini buat diatur-atur? Kalau aku nggak mau, masalah buat loh.
Sungguh, memang seperti itu yang sering kali terjadi  pada banyak orang termasuk aku dan muridku itu. Maka muncullah penolakan sebagai bentuk respon dari rasa tertekan karena merasa diperlakukan sewenang-wenang. Tiba-tiba kami merasa sehati. Kami merasakan sesuatu yang sama saat kami mendapat tekanan. Aku setuju dengan dia. Aku juga merasakan apa yang dia rasakan. Aku juga tidak mau diatur dan dikendalikan orang lain.
Sepertinya, dengan membiarkan orang lain mengatur kita, kita sudah memberinya kesempatan untuk memuaskan diri mereka. Lihat saja. Betapa bangganya mereka ketika kita mengikuti kemauannya. Kebanggaan itu seringkali terekspresi dari wajahnya. Kadang-kadang bahkan lebih buruk dari itu. Orang yang berhasil mengatur kita akan membual kepada banyak orang tentang keberhasilannya mengatur kita. Dan tentu semua itu akan semakin membuat kita rendah dan menyakitkan.
Jadi, bagaimana caranya menghentikan orang lain mengatur kita! Bagaimana caranya membuat mereka bungkam?
“Jangan beri kesempatan mereka melakukannya pada kita?” usul sahabatku itu.
(Kami terlibat perbincangan yang sangat asyik layaknya perbincangan dua orang sahabat yang akrab)
“Aku setuju!” jawabku sambil mengangguk mantap.
 Yah satu-satunya jalan untuk meruntuhkan kebanggaan mereka merendahkan kita adalah dengan  tidak memberinya kesempatan melakukan pelecehan kepada kita, orang-orang merdeka. Hanya diri kita saja yang boleh menyuruh kita. Hanya diri kita saja yang boleh mengatur kita. Hanya diri kita yang boleh mengendalikan kita. Bukan orang lain.
Orang lain menganggap kita belum tahu yang apa harus dilakukan, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Mereka pikir kita tidak bisa membaca aturan. Mereka sangka kita bodoh sehingga harus diberi tahu. Padahal sebetulnya tidak kan. Kita sudah tahu apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang benar dan apa yang salah. Kita juga bukan orang bodoh. Kita bisa baca aturan.
Hanya masalah waktu.  Kita hanya terlambat beberapa menit. Dan mereka lebih cepat menemukan “kesalahan” kita. Kesalahan itu sebetulnya bukan kesalahan dalam arti yang sebenarnya. Yang mereka temukan hanyalah “kita belum melakukannya”. Dan itu mereka anggap kesalahan kita. Mereka bangga karena menemukan kesalahan itu dan kemudian dijadikan alasan untuk merendahkan kita.
Untuk meruntuhkan kebanggaan mereka dan tidak memberinya kesempatan merendahkan kita, maka kita harus lebih cepat dari mereka.  Kita harus lakukan sebelum mereka mengatakan sesuatu. Kita harus datang tepat waktu agar mereka tidak punya kesempatan menegur kita.  Kita harus melakukan pekerjaan kita lebih awal sesuai aturan dan prosedur yang berlaku agar mereka tidak punya kesempatan menyuruh dan mengatur kita.
“Setuju!”
Kami berjabatan tangan dan berjanji untuk menolak dikendalikan orang lain. Kami bertekad untuk menjadi penguasa bagi diri sendiri karena kita adalah orang yang merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar