Kami duduk
saling berhadapan. Aku adalah wali kelas dan cowok kerempeng di depanku ini
adalah siswa perwalianku. Pertemuan kami pagi ini sebetulnya adalah sebuah
perintah. Perintah dari wakasis kepadaku untuk melakukan pembinaan kepada siswa
perwalianku. Kesalahan utama cowok ini adalah selalu melanggar aturan sekolah. Tidak
menggunakan atribut sekolah dengan lengkap saat mengikuti upacara. Baju tidak
dimasukkan saat kegiatan pembelajaran. Sering terlambat dan serentetan
pelanggaran yang lain.
Pelaku
pelanggaran tata tertib sekolah seperti cowok ini banyak sekali. Menghukum mereka
sepertinya tidak membuat mereka jera. Mereka selalu mengulang dan mengulanginya
lagi. Pembinaan apa lagi yang harus kulakukan. Yang keras saja tidak mempan apalagi
hanya sekedar kata-kata yang bisa saja tidak mereka dengar meski tampaknya
mereka dengarkan.
“Boleh tahu
nggak, apa alasanmu sehingga kamu sering sekali melanggar aturan sekolah?”
Kulontarkan pertanyaan
kepadanya. Pertanyaan yang mungkin tidak penting.
“Saya paling
tidak suka disuruh-suruh. Tidak suka diatur-atur. Kalau ada orang mengatur
saya, saya merasa orang itu merendahkan saya, dan saya akan melawannya. Agar orang
itu tahu bahwa saya bukan orang yang bisa direndahkan”
Kurasa, ia memberi
penekanan pada kata “merendahkan”. Jawabannya
yang tak terduga itu membuatku bingung. Tampaknya tidak mudah bagiku untuk
membuatnya mengerti mengapa seseorang harus taat pada aturan.
Tapi tunggu
sebentar. Kalau kurenungkan apa yang ia katakan, diam-diam aku menyetujuinya. Maksudku, aku sendiri sering merasakan hal
yang sama seperti yang ia rasakan. Ketika ada orang lain yang mencoba
mengaturku, aku seperti wajib untuk
melakukan penolakan atas “kesewenang-wenangannya” itu. Emang apa bedanya aku
sama dia? Apa urusannya dia berani nyuruh-nyuruh aku, ngatur-ngatur aku. Emang aku
pesuruhnya? Emang aku lahir didunia ini buat diatur-atur? Kalau aku nggak mau,
masalah buat loh.
Sungguh, memang
seperti itu yang sering kali terjadi pada banyak orang termasuk aku dan muridku
itu. Maka muncullah penolakan sebagai bentuk respon dari rasa tertekan karena
merasa diperlakukan sewenang-wenang. Tiba-tiba kami merasa sehati. Kami
merasakan sesuatu yang sama saat kami mendapat tekanan. Aku setuju dengan dia. Aku
juga merasakan apa yang dia rasakan. Aku juga tidak mau diatur dan dikendalikan
orang lain.
Sepertinya,
dengan membiarkan orang lain mengatur kita, kita sudah memberinya kesempatan
untuk memuaskan diri mereka. Lihat saja. Betapa bangganya mereka ketika kita
mengikuti kemauannya. Kebanggaan itu seringkali terekspresi dari wajahnya. Kadang-kadang
bahkan lebih buruk dari itu. Orang yang berhasil mengatur kita akan membual
kepada banyak orang tentang keberhasilannya mengatur kita. Dan tentu semua itu
akan semakin membuat kita rendah dan menyakitkan.
Jadi, bagaimana
caranya menghentikan orang lain mengatur kita! Bagaimana caranya membuat mereka
bungkam?
“Jangan beri
kesempatan mereka melakukannya pada kita?” usul sahabatku itu.
(Kami terlibat
perbincangan yang sangat asyik layaknya perbincangan dua orang sahabat yang
akrab)
“Aku setuju!”
jawabku sambil mengangguk mantap.
Yah satu-satunya jalan untuk meruntuhkan
kebanggaan mereka merendahkan kita adalah dengan tidak memberinya kesempatan melakukan
pelecehan kepada kita, orang-orang merdeka. Hanya diri kita saja yang boleh
menyuruh kita. Hanya diri kita saja yang boleh mengatur kita. Hanya diri kita
yang boleh mengendalikan kita. Bukan orang lain.
Orang lain
menganggap kita belum tahu yang apa harus dilakukan, apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh. Mereka pikir kita tidak bisa membaca aturan. Mereka sangka
kita bodoh sehingga harus diberi tahu. Padahal sebetulnya tidak kan. Kita sudah
tahu apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang benar dan apa yang salah. Kita juga
bukan orang bodoh. Kita bisa baca aturan.
Hanya masalah
waktu. Kita hanya terlambat beberapa
menit. Dan mereka lebih cepat menemukan “kesalahan” kita. Kesalahan itu
sebetulnya bukan kesalahan dalam arti yang sebenarnya. Yang mereka temukan
hanyalah “kita belum melakukannya”. Dan itu mereka anggap kesalahan kita. Mereka
bangga karena menemukan kesalahan itu dan kemudian dijadikan alasan untuk
merendahkan kita.
Untuk
meruntuhkan kebanggaan mereka dan tidak memberinya kesempatan merendahkan kita,
maka kita harus lebih cepat dari mereka. Kita harus lakukan sebelum mereka mengatakan
sesuatu. Kita harus datang tepat waktu agar mereka tidak punya kesempatan
menegur kita. Kita harus melakukan
pekerjaan kita lebih awal sesuai aturan dan prosedur yang berlaku agar mereka
tidak punya kesempatan menyuruh dan mengatur kita.
“Setuju!”
Kami berjabatan
tangan dan berjanji untuk menolak dikendalikan orang lain. Kami bertekad untuk
menjadi penguasa bagi diri sendiri karena kita adalah orang yang merdeka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar