Nada khas pesan
singkat terdengar begitu aku masuk
kamar. Setelah keypad unlock, ada empat pesan singkat belum terbaca. Pesan paling
atas, dari Ami. Minta diantarkan baju olahraganya yang ketinggalan.
Uh… anak ini. Padahal saat berpapasan di kamar depan tadi aku sudah
mengingatkannya. Tetap saja kelupaan.
Tak ada waktu
untuk berpikir panjang. Segera kucari baju olahraga berwarna hitam dengan
kombinasi kuning itu, kumasukkan dalam tas kresek kecil, ambil helm dan
mengeluarkan sepeda motor dari peraduannya. Kulirik jam dinding, jarumnya
menunjukkan pukul enam lebih lima menit. Masih ada waktu. Sekolah Ami masuk jam
enam lebih empat puluh lima menit. Setidaknya aku butuh waktu duapuluh sampai
tigapuluh menit untuk sampai di sana.
Kupacu sepeda motor dengan kecepatan sedang. Sampai di dekat pertigaan Pleret aku melihat beberapa anak berseragam identitas hijau muda-hijau tua beriringan naik sepeda. Seragam itu sama persis dengan seragam yang dikenakan Ami hari ini. Bisa dipastikan mereka satu sekolah dengan Ami. Aku jadi berpikir seandainya mereka kenal Ami, tentu aku bisa menitipkannya baju olahraga Ami. Menanyai mereka yang sedang konsentrasi nggoes sepeda tentu bukang timing yang tepat. Okelah, mungkin di depan sana aku bisa menemukan lagi anak MTs yang bisa dititipi seragam olah raga Ami.
Di bangjo
jalan Madura seorang cewek berseragam MTs menyalipku dari belakang, pakai
sepeda motor. Tapi penanda waktu di lampu lalu lintas itu teramat singkat.
Bukan orang yang tepat. Sampailah aku di bangjo Yonif yang ramai. Semakin banyak
anak MTs yang ikutan berhenti karena lampu merah. Tiba-tiba tepat berhenti
disebelahku, sepeda motor yang dikendarai seorang bapak membonceng cewek
seumuran Ami. Pakai seragam MTs. Kulihat penanda waktu di lampu lalu lintas
duapuluh lima. Kurasa inilah saat yang
tepat. Sambil menganggsurkan kepalaku agar dekat dengannya, kupanggil cewek
itu.
“Mbak… mbak
kelas berapa?”
“Kelas delapan
F” jawabnya ragu.
Wah kebetulan
sekali. Itu kan kelasnya Ami.
“Temannya Ami
yang mbak”
Cewek itu
mengangguk. Masih dengan anggukan ragu.
“Nitip baju
olahraganya Ami ya mbak. Ini ketinggalan”
Begitu dia
mengangguk kuserahkan tas kresek berwarna putih kepadanya.
“Terima kasih ya
mbak. Pak saya nitip baju olah raga ke putranya”
Si bapak
mengangguk.
“Eh mbak
namanya siapa?”
“Maria Ulfa”
Maria Ulfa,
aku mengulangi menyebutnya. Sepertinya Ami pernah menyebut nama itu dalam suatu
kesempatan.
“Rumahnya
Talok ya”
Cewek itu
mengangguk.
Kusampaikan
terimakasihku sekali lagi.
Lampu hijau
menyala. Kuperlambat sepedaku, memberi kesempatan si Bapak untuk mndahuluiku.
Aku tidak harus sampai ke sekolah Ami, karena baju olah raga itu sudah dibawa
temannya. Sekarang tinggal cari tempat untuk putar balik. Alhamdulillah.
Tak ada
sesuatupun yang terjadi di muka bumi ini tanpa kehendakNya. Berharap kepadaNya adalah doa dan tak ada doa yang tak
didengar olehNya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar