Kamis, 18 Agustus 2016

Wahai Anak Muda

Wahai anak muda, bersemangatlah. Kalian akan menghadapi dunia yang semakin sulit. Persaingan semakin ketat. Bila tak bisa memenangkan persaingan, kalian akan tergusur.

Selagi muda, bekerjalah lebih dan lebih keras lagi. Kalian masih mempunyai stok energi yang cukup banyak. Otak kalian masih fresh untuk berpikir. Tenaga kalian masih sangat kuat. Ibarat baterei masih full. 

Jadi, sayang kan kalau tidak dimanfaatkan. Ayolah. Selagi bisa. Selagi mampu. Energi yang demikian besar itu akan bertambah besar bila kalian manfaatkan, tetapi akan berkurang, semakin menyusut atau bahkan akan habis bila kalian abaikan. 

#fiksi
Kuamati dari balik kelambu, pemuda itu datang lagi ke toko kami. Ia adalah pelanggan kami yang beberapa hari terakhir ini sering menyambangi toko kami. Ia duduk di kursi depan dengan wajah kuyu. Bahunya turun dan wajahnya yang layu mengisyaratkan kalau dia sedang mendapat masalah besar. Tubuh tambunnya yang teronggok lunglai itu benar-benar mengundang haru.

"Gimana, dik, masih ada revisi?" tanyaku sambil duduk dibalik meja, tepat di depannya. Ini adalah caraku menyambut pelanggan. Semoga ia pelanggan yang baik hari ini. 

 Dia tersenyum kecut.
 "Buuuanyyakkkk mbak. Banyak sekali" jawabnya lesu. Tangannya membuka dan menyodorkan map plastik berwarna biru. 
Dari balik sampul map itu tersembul Cover skripsinya.  Coretan tinta warna merah menghiasi bagian utama halaman itu, judul skripsi. Oh no! pekikku dalam hati. 

Aku penasaran. Reflek tanganku membuka lembar demi lembar selanjutnya. Ya Allah, ada puluhan coretan di sana. Tulisan dengan tinta warna merah muncul di sana sini.  Garis melengkung tergores dari atas hingga bawah halaman masih ditambah tanda tanya dengan ukuran font yang cukup besar. Benar-benar horor. Pantas wajahnya tampak kumal seperti itu.

"Ini bukan hanya revisi mbak, tapi aku harus ujian ulang" jelasnya seolah ia ingin mendeskripsikan bencana yang sedang dialaminya. Aku mengangguk angguk. Mulutku kelu, tak tahu harus berkata apa.
Pemuda itu adalah salah satu pelanggan kami. Akhir akhir ini ia sering datang ke toko kami, menggunakan jasa  kami. Kami memang menyewakan PC lengkap dengan printernya. Kedatangannya adalah untuk menyewa printer kami untuk mencetak skripsinya. 

Setahuku ia adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsi. Sedikit banyak aku tahu bahasan skripsinya  karena sering dimintai tolong untuk mengedit penulisannya. Menurutku, sebagai sebuah karya ilmiah, tata tulisnya sangat amburadul. Sebagian besar penggunaan tanda baca salah. 
Aku sempat berburuk sangka, mungkin ia tak pernah mengikuti pelajaran bahasa Indonesia saat masih sekolah. Oh ya, TIK nya juga parah. 

"Kok bisa begitu ya?" tanyaku berlagak bodoh. 
"Gak tahu itu, gimana yang nyusun" gerutunya.
Dahiku berkernyit.Aku mencium gelagat buruk dari kata-katanya.
"Maksudnya?" tanyaku minta penegasan.
"Iya mbak. Skripsi ini bukan aku sendiri yang buat. Tapi aku minta orang menyusunkannya. Aku bayar untuk itu"

Olala, jadi itu masalahnya. Ini bukan kali pertama aku mendengarnya, tapi surprise juga bagiku karena hari ini aku bertatap langsung dengan korbannya.

"Tapi sampeyan paham kan isinya?" tanyaku lagi.
Ia mengangguk ragu kemudian menggeleng pelan. Lah kok begitu jawabannya. Benar-benar tidak OK

"Sudah baca sih sedikit. Tapi banyak juga yang gak paham. Aku bingung ketika pengujiku menanyakan teknik sampling, uji validitas dan entah apa lagi"

Aku melongo. Bagaimana mungkin ia tidak bisa menjawab hal hal yang sangat vital yang harus ia pertanggungjawabkan.  Ini benar benar konyol menurutku. Ia datang menemui dewan penguji untuk mempertanggungjawabnya sesuatu yang ia tidak tahu apa yang ada di dalamnya.

"Terus rencana sampeyan selanjutnya?" tanyaku kemudian.
Mungkin lebih baik baginya untuk memikirkan jalan keluar daripada larut dengan masalahnya. 

"Aku ingin cari orang lain untuk membenahi skripsi ini. Ogah balik ke sana lagi. Aku diberi waktu seminggu untuk maju ujian lagi" jelasnya. 
Aku mengangguk-angguk. Tapi sebetulnya aku kurang setuju dengan jawaban itu. Kesalahan utamanya, menurutku, adalah pada dirinya. Jadi...



"Mbak bisa?" tanyanya tiba-tiba, mengejutkanku. 
"Ayolah mbak, bantu aku. Ini benar-benar mendesak. Kalau tidak, aku harus mundur semester depan. Itu tidak mungkin. Teman teman seangkatanku sudah wisuda tahun lalu"
****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar