Minggu, 07 Agustus 2016

Mengulik Esensi Jadulan



Alhamdulillah, berakhir juga pekan jadulnya. Mulai besok kembali pada pemberlakuan seragam sekolah seperti biasa. Ah selama seminggu menjalani instruksi memakai pakaian jadul dada ini terasa sesak. 
Bagaimana tidak, aku menyaksikan pakaian “pating cloneh” menghiasi sekolah. Bukan tidak suka dengan warna warni dan model jadulnya. Tapi entah kenapa risih saja melihat remaja remaja memakai pakaian yang (menurutku) tidak pada tempatnya. Sekali waktu aku mendapati seorang siswa memakai celana berbahan semi kaos yang ketat dipadu dengan hem batik. Kali lain mendapati siswi memakai pakaian ala simbok  yang seksi dengan terlihat belahan dadanya. Ada juga yang pakai kebaya dengan ujung ditali seperti yang sering kulihat dulu digunakan oleh perempuan perempuan tukang tandur. Ada lagi siswi yang mengenakan rok full klok yang super pendek, sepaha. Entahlah itu rok jadulnya dimana. 


Ah pokoknya terlalu banyak pemandangan menyeramkan di sekolah. Konsep jadulan memang belum punya pakem. Setiap orang mempersepsi “jadulan” dengan caranya sendiri. Banyak diantara mereka yang tampil cantik dengan kejadulannya, mengingatkanku pada jaman puluhan tahun silam. Tapi tak sedikit pula yang jadulannya “amburadul”.
Kelihatannya sederhana. Hanya soal busana. Tapi faktanya sungguh sangat mengganggu. Bagaimanapun ke-amburadulan itu merusak konsentrasi siswa lain. Mungkin perlu dipikirkan dan dikaji lebih lanjut esensi kegiatan jadulan, terutama bila diterapkan di sekolah. Kebijakan ini tentu didasari oleh tujuan yang sangat mulia. Dan setelah sekian lama, tampaknya perlu dievaluasi apakah tujuan itu sudah tercapai dan seberapa jauhkah ekses negatif dari kebijakan ini. Memang sih, tidak bisa terburu buru mengklaim bahwa aturan ini salah, tetapi bukan berarti pula aturan ini tak perlu pengkajian.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar