Alhamdulillah, berakhir juga pekan jadulnya. Mulai besok
kembali pada pemberlakuan seragam sekolah seperti biasa. Ah selama seminggu
menjalani instruksi memakai pakaian jadul dada ini terasa sesak.
Bagaimana tidak, aku menyaksikan pakaian “pating cloneh”
menghiasi sekolah. Bukan tidak suka dengan warna warni dan model jadulnya. Tapi
entah kenapa risih saja melihat remaja remaja memakai pakaian yang (menurutku)
tidak pada tempatnya. Sekali waktu aku mendapati seorang siswa memakai celana
berbahan semi kaos yang ketat dipadu dengan hem batik. Kali lain mendapati
siswi memakai pakaian ala simbok yang
seksi dengan terlihat belahan dadanya. Ada juga yang pakai kebaya dengan ujung
ditali seperti yang sering kulihat dulu digunakan oleh perempuan perempuan
tukang tandur. Ada lagi siswi yang mengenakan rok full klok yang super pendek,
sepaha. Entahlah itu rok jadulnya dimana.
Ah pokoknya terlalu banyak pemandangan menyeramkan di
sekolah. Konsep jadulan memang belum punya pakem. Setiap orang mempersepsi “jadulan”
dengan caranya sendiri. Banyak diantara mereka yang tampil cantik dengan
kejadulannya, mengingatkanku pada jaman puluhan tahun silam. Tapi tak sedikit
pula yang jadulannya “amburadul”.
Kelihatannya sederhana. Hanya soal busana. Tapi faktanya
sungguh sangat mengganggu. Bagaimanapun ke-amburadulan itu merusak konsentrasi
siswa lain. Mungkin perlu dipikirkan dan dikaji lebih lanjut esensi kegiatan
jadulan, terutama bila diterapkan di sekolah. Kebijakan ini tentu didasari oleh
tujuan yang sangat mulia. Dan setelah sekian lama, tampaknya perlu dievaluasi
apakah tujuan itu sudah tercapai dan seberapa jauhkah ekses negatif dari
kebijakan ini. Memang sih, tidak bisa terburu buru mengklaim bahwa aturan ini
salah, tetapi bukan berarti pula aturan ini tak perlu pengkajian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar