Minggu, 22 April 2012

berpikir positif... ternyata tidak sulit


Sungguh sangat  tidak fair menurutku. Sikap mereka sangat menyakitkan. Acuh, cuek dan terkesan merendahkan. Mereka seperti dengan sengaja menunjukkan rasa tidak sukanya kepadaku.  Padahal, sebetulnya apa salahku?  Aku telah melakukan tugas sebagaimana seharusnya. Sesuai prosedur yang berlaku. Aku bersedia mempertanggungjawabkan apa yang aku lakukan.
Seharusnya, kalau menurut mereka aku telah melakukan kesalahan, mereka bertanya kepaku. Memintaku untuk memberikan klarifikasi.  Nah ini tidak. Tanpa tahu apa yang dituduhkan padaku, beberapa orang mendadak sontak berubah sikap kepadaku. Mending perubahan itu menjadi sikap yang lebih baik. Ini malah menjadi sangat menyakitkan.
Saat aku berada di kantor, beberapa orang berbicara dengan volume yang cukup keras dan saling bersahutan. Tampak seperti ingin menyerangku dengan cara menyindir.  Beberapa yang lain malah bukan lagi menyindir melainkan menamparku dengan pernyataan-pernyataannya,
“Saya kok tidak pernah melihatmu datang di meeting bulanan sih!” kata Bu Diah menyambut kedatanganku di kantor dengan wajah merengut, seperti menyimpan segudang kejengkelan.  Aku bengong menghadapi serangannya yang tiba-tiba.  Ini yang aku bilang tidak fair. Dari mana dia dapat fakta seperti itu. Apakah ia pernah memeriksa daftar hadir meeting bulanan kami?
“Nyuwun sewu bu Diah? Dari mana bu Diah dapat data kalau saya ndak pernah datang di meeting bulanan?” tanyaku nyantai tapi serius. Kusengaja datang ke mejanya khusus untuk mendapatkan klarifikasi dari pertanyaannya tersebut.
“Lah kemarin meeting, gak datang to” jawabnya ketus.
“Betul. Tapi tidak selalu bu. Silahkan di cek di daftar hadir meeting kita. Apa  harus saya bawakan ke sini untuk meyakinkan penjenengan?” tanyaku kalem.
Dia mendongak seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya.  Bu Diah adalah pegawai senior yang selalu mendapat penghormatan dari  para pegawai lainnya. Belum pernah sekalipun aku melihat salah seorang dari kami menyangkal perkataannya. Bisa jadi akulah orang pertama yang melakukannya.
Aku merasa semakin banyak orang kantor  yang menerorku akhir-akhir ini.  Anehnya tanpa kuketahui apa kesalahanku.  Beberapa diantara mereka yang selama ini menjadi sahabatku meminta maaf karena tidak bisa membantuku. Mereka juga minta ijin untuk menjauh beberapa saat  untuk menyelamatkan diri. Kata mereka, kalau mereka mendekatiku mereka akan mendapat perlakuan yang sama, dihujat!!
Aku benar-benar down. Aku stress dengan keadaanku. Aku tidak tahu lagi harus mencurhatkan apa yang aku alami ini kepada siapa. Satu dua orang yang kumintai pendapat, mencoba menasehatiku dengan saran-saran mereka. Tapi semua saran itu menurutku tidak bisa kulakukan. Aku yang bodoh atau aku yang bebal sih.
Aku harus menolong diriku sendiri.  Mengubah mndset. Aku merenung dan terus merenung. Aku menetralkan perasaan stress ini dengan berlama-lama berdoa. Entahlah. Aku merasa sedikit adem pada saat aku bermunajat kepada-Nya.  Beberapa ayat yang menyejukkan kubaca berulang-ulang.  Juga dari apa yang pernah kubaca: yang akan terjadi adalah yang kamu pikirkan. Berarti, kalau kupikirkan semua orang memusuhiku maka mereka akan benar-benar memusuhiku. Kalau kupikirkan semua orang sebetulnya baik kepadaku, maka mereka akan benar-benar baik kepadaku.  Berarti pula  kalaupun benar mereka membenciku maka aku harus menganggap yang sebaliknya. Bisakah hal itu kulakukan? Aku bertekad untuk membuktikannya.
@@@
“Menempatkan seseorang pada jabatan tertentu itu tidak semudah menempatkan anak catur pada papannya. Lihat dulu apakah dia bisa bekerja atau tidak. Jangan asal comot saja. Perempuan lagi!” suara menggelegar salah seorang pengurus yayasan memenuhi ruangan tempat meeting bulan ini dilakukan.  Sekejap kemudian beberapa mata melirik kearahku. Aku tersenyum.
Salah seorang rekan yang duduk disampingku berbisik.
“Keterlaluan”
“Tapi beliau itu benar. Aku memang belum membuktikan apakah aku bisa bekerja atau tidak. Beliau hanya ingin mengingatkan agar aku bekerja lebih baik” kataku menghiburnya.
Ia menolehku dan mendapat senyumanku yang paling manis.
@@@
“Rasain! Tahun ini dia mendapatkan jam mengajar lebih banyak!”
Kata-kata itu nyelonong begitu saja di telingaku saat aku menghampiri papan pengumuman, melihat jadwal mengajar yang terbit semester ini.  Aku mendapatkan tambahan jumlah jam cukup banyak.  Dari kalimat yang kudengar tadi sepertinya jumlah jam yang cukup besar ini adalah hukuman untukku. Tapi kok menurutku tidak ya. Lah bukankah dengan jumlah jam mengajar yang banyak berarti HR yang akan aku terima setiap bulannya akan bertambah. Mengapa harus merasa dihukum. Ini sebuah anugerah sohib.
@@@
“Dia jadi wali kelas berapa?”
“Wali kelas sepuluh”
“Biar dia rasakan sulitnya menjadi wali kelas sepuluh”
Entah disengaja atau tidak, yang pasti aku mendengar dengan jelas perbincangan dua temanku di ruang guru, dan aku tahu yang menjadi bahan perbincangan itu adalah aku. Memang tahun ini aku menjadi wali kelas sepuluh. Tapia pa alasanku untuk merasa terhina dengan menjadi wali kelas sepuluh. Kurasa kelas berapapun adalah kumpulan pribadi-pribadi unik yang sangat menantang.  Terlalu naïf menganggapnya sebagai hukuman. Ini sebuah tantangan teman.
@@@
Musibah itu terjadi. Bromfitku ditabarak oleh sebuah pick up yang melaju berlawanan arah denganku. Rupanya  si pengendara ingin menghindari antrian mobil yang berderet-deret di depannya dengan membanting setir ke kanan. Padahal pada saat yang bersamaan aku sedang melaju dengan motorku juga. Selain luka-luka di beberapa bagian aku mengalami retak pada bagian pergelangan tangan dan lutut. Dalam waktu beberapa hari aku harus puas tidak melakukan apapun selain hanya telentang di tempat tidur. Setelah kurasa kuat aku nekat pergi ke kantor. Menurutku, berada di atas tempat tidur lebih menyiksa dari pada melakukan aktifitas.
“Aduh sudah masuk” kata salah seorang rekan saat melihatku datang ke kantor dengan tangan bergips.
“Iya. Aku gak betah tidur-tiduran saja” jawabku sambil menyambut uluran tangannya untuk berjabat tangan.
“Maaf ya aku belum sempat menengok” kata temanku itu sambil memegang-megang balutan semen putih yang mengungkung pergelangan tanganku.
“Ah…Doamu sudah sampai padaku. Terimakasih sudah mendoakan kesembuhanku” kataku  sambil menyenyuminya.
Yah aku berpikir bahwa semua orang mengirimkan doanya untukku. Berdoa untuk kesembuhanku. 
@@@
Ternyata tidak sulit melakukannya. Aku sudah membuktikan. Meski aku tak pernah berbuat apa-apa untuk mengubahnya, keadaan berubah dengan sendirinya. Secara berangsur-angsur kurasakan sikap mereka menjadi baik kepadaku. Mungkin mereka capai bersikap buruk karena apapun sikap mereka aku tak pernah menganggapnya buruk. Mungkin aku yang bandel, tumpul perasaan.
Ah terserahlah. Yang pasti semua itu telah lama berlalu. Kini, mereka adalah teman-teman baikku. Aku tidak harus pergi menghindari mereka untuk menyelamatkan diri. Aku tetap berada diantara mereka dengan suasana yang sama sekali berubah.  Aku, sungguh bahagia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar