Sungguh
sangat tidak fair menurutku. Sikap
mereka sangat menyakitkan. Acuh, cuek dan terkesan merendahkan. Mereka seperti
dengan sengaja menunjukkan rasa tidak sukanya kepadaku. Padahal, sebetulnya apa salahku? Aku telah melakukan tugas sebagaimana seharusnya.
Sesuai prosedur yang berlaku. Aku bersedia mempertanggungjawabkan apa yang aku
lakukan.
Seharusnya,
kalau menurut mereka aku telah melakukan kesalahan, mereka bertanya kepaku.
Memintaku untuk memberikan klarifikasi.
Nah ini tidak. Tanpa tahu apa yang dituduhkan padaku, beberapa orang
mendadak sontak berubah sikap kepadaku. Mending perubahan itu menjadi sikap
yang lebih baik. Ini malah menjadi sangat menyakitkan.
“Saya kok tidak
pernah melihatmu datang di meeting bulanan sih!” kata Bu Diah menyambut
kedatanganku di kantor dengan wajah merengut, seperti menyimpan segudang
kejengkelan. Aku bengong menghadapi
serangannya yang tiba-tiba. Ini yang aku
bilang tidak fair. Dari mana dia dapat fakta seperti itu. Apakah ia pernah
memeriksa daftar hadir meeting bulanan kami?
“Nyuwun sewu bu
Diah? Dari mana bu Diah dapat data kalau saya ndak pernah datang di meeting
bulanan?” tanyaku nyantai tapi serius. Kusengaja datang ke mejanya khusus untuk
mendapatkan klarifikasi dari pertanyaannya tersebut.
“Lah kemarin
meeting, gak datang to” jawabnya ketus.
“Betul. Tapi
tidak selalu bu. Silahkan di cek di daftar hadir meeting kita. Apa harus saya bawakan ke sini untuk meyakinkan
penjenengan?” tanyaku kalem.
Dia mendongak
seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bu Diah adalah pegawai senior yang selalu
mendapat penghormatan dari para pegawai
lainnya. Belum pernah sekalipun aku melihat salah seorang dari kami menyangkal
perkataannya. Bisa jadi akulah orang pertama yang melakukannya.
Aku merasa
semakin banyak orang kantor yang
menerorku akhir-akhir ini. Anehnya tanpa
kuketahui apa kesalahanku. Beberapa
diantara mereka yang selama ini menjadi sahabatku meminta maaf karena tidak
bisa membantuku. Mereka juga minta ijin untuk menjauh beberapa saat untuk menyelamatkan diri. Kata mereka, kalau
mereka mendekatiku mereka akan mendapat perlakuan yang sama, dihujat!!
Aku benar-benar
down. Aku stress dengan keadaanku. Aku tidak tahu lagi harus mencurhatkan apa
yang aku alami ini kepada siapa. Satu dua orang yang kumintai pendapat, mencoba
menasehatiku dengan saran-saran mereka. Tapi semua saran itu menurutku tidak
bisa kulakukan. Aku yang bodoh atau aku yang bebal sih.
Aku harus
menolong diriku sendiri. Mengubah
mndset. Aku merenung dan terus merenung. Aku menetralkan perasaan stress ini
dengan berlama-lama berdoa. Entahlah. Aku merasa sedikit adem pada saat aku
bermunajat kepada-Nya. Beberapa ayat
yang menyejukkan kubaca berulang-ulang. Juga
dari apa yang pernah kubaca: yang akan terjadi adalah yang kamu pikirkan.
Berarti, kalau kupikirkan semua orang memusuhiku maka mereka akan benar-benar
memusuhiku. Kalau kupikirkan semua orang sebetulnya baik kepadaku, maka mereka
akan benar-benar baik kepadaku. Berarti
pula kalaupun benar mereka membenciku
maka aku harus menganggap yang sebaliknya. Bisakah hal itu kulakukan? Aku
bertekad untuk membuktikannya.
@@@
“Menempatkan
seseorang pada jabatan tertentu itu tidak semudah menempatkan anak catur pada
papannya. Lihat dulu apakah dia bisa bekerja atau tidak. Jangan asal comot
saja. Perempuan lagi!” suara menggelegar salah seorang pengurus yayasan
memenuhi ruangan tempat meeting bulan ini dilakukan. Sekejap kemudian beberapa mata melirik
kearahku. Aku tersenyum.
Salah seorang
rekan yang duduk disampingku berbisik.
“Keterlaluan”
“Tapi beliau
itu benar. Aku memang belum membuktikan apakah aku bisa bekerja atau tidak.
Beliau hanya ingin mengingatkan agar aku bekerja lebih baik” kataku
menghiburnya.
Ia menolehku
dan mendapat senyumanku yang paling manis.
@@@
“Rasain! Tahun
ini dia mendapatkan jam mengajar lebih banyak!”
Kata-kata itu
nyelonong begitu saja di telingaku saat aku menghampiri papan pengumuman,
melihat jadwal mengajar yang terbit semester ini. Aku mendapatkan tambahan jumlah jam cukup
banyak. Dari kalimat yang kudengar tadi sepertinya
jumlah jam yang cukup besar ini adalah hukuman untukku. Tapi kok menurutku
tidak ya. Lah bukankah dengan jumlah jam mengajar yang banyak berarti HR yang
akan aku terima setiap bulannya akan bertambah. Mengapa harus merasa dihukum.
Ini sebuah anugerah sohib.
@@@
“Dia jadi wali
kelas berapa?”
“Wali kelas
sepuluh”
“Biar dia
rasakan sulitnya menjadi wali kelas sepuluh”
Entah disengaja
atau tidak, yang pasti aku mendengar dengan jelas perbincangan dua temanku di
ruang guru, dan aku tahu yang menjadi bahan perbincangan itu adalah aku. Memang
tahun ini aku menjadi wali kelas sepuluh. Tapia pa alasanku untuk merasa
terhina dengan menjadi wali kelas sepuluh. Kurasa kelas berapapun adalah
kumpulan pribadi-pribadi unik yang sangat menantang. Terlalu naïf menganggapnya sebagai hukuman.
Ini sebuah tantangan teman.
@@@
Musibah itu
terjadi. Bromfitku ditabarak oleh sebuah pick up yang melaju berlawanan arah
denganku. Rupanya si pengendara ingin
menghindari antrian mobil yang berderet-deret di depannya dengan membanting
setir ke kanan. Padahal pada saat yang bersamaan aku sedang melaju dengan
motorku juga. Selain luka-luka di beberapa bagian aku mengalami retak pada
bagian pergelangan tangan dan lutut. Dalam waktu beberapa hari aku harus puas
tidak melakukan apapun selain hanya telentang di tempat tidur. Setelah kurasa
kuat aku nekat pergi ke kantor. Menurutku, berada di atas tempat tidur lebih
menyiksa dari pada melakukan aktifitas.
“Aduh sudah
masuk” kata salah seorang rekan saat melihatku datang ke kantor dengan tangan
bergips.
“Iya. Aku gak
betah tidur-tiduran saja” jawabku sambil menyambut uluran tangannya untuk
berjabat tangan.
“Maaf ya aku
belum sempat menengok” kata temanku itu sambil memegang-megang balutan semen
putih yang mengungkung pergelangan tanganku.
“Ah…Doamu sudah
sampai padaku. Terimakasih sudah mendoakan kesembuhanku” kataku sambil menyenyuminya.
Yah aku
berpikir bahwa semua orang mengirimkan doanya untukku. Berdoa untuk
kesembuhanku.
@@@
Ternyata tidak sulit melakukannya. Aku sudah membuktikan. Meski
aku tak pernah berbuat apa-apa untuk mengubahnya, keadaan berubah dengan
sendirinya. Secara berangsur-angsur kurasakan sikap mereka menjadi baik
kepadaku. Mungkin mereka capai bersikap buruk karena apapun sikap
mereka aku tak pernah menganggapnya buruk. Mungkin aku yang bandel, tumpul
perasaan.
Ah terserahlah.
Yang pasti semua itu telah lama berlalu. Kini, mereka adalah teman-teman
baikku. Aku tidak harus pergi menghindari mereka untuk menyelamatkan diri. Aku
tetap berada diantara mereka dengan suasana yang sama sekali berubah. Aku, sungguh bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar