Kamis, 05 April 2012

KALAU KITA MENJUAL DIRI…….?


Ups… menjual diri!!  Human Trafficking donk. Nanti dulu. Menjual diri yang ini bukan menjual diri yang berkonotasi negatif, tapi positif. Kok bisa?
Pada dasarnya setiap orang itu ingin eksis. Ingin diakui oleh siapapun. Tidak ingin diremehkan apa lagi dipandang sebelah mata. Contoh konkritnya ketika ketika berbicara, menyampaikan sesuatu. Kita pasti ingin orang mendengar apa yang kita bicarakan. Bahkan tidak hanya sekedar mendengarkan, kita ingin orang lain merespon apa yang kita katakan. Bila kita bicara dan orang lain mengabaikannya maka sungguh kita akan merasa sangat kecewa.
Itulah! Setiap kita pasti ingin diakui. Ingin dilihat. Ingin didengarkan. BIla kita punya kelebihan, kita ingin orang mengetahui kelebihan kita, kita ingin mereka mengapresiasi apa yang kita miliki. Nah dalam rangka memperjuangkan eksistensi itulah kita harus menjual diri. Bahasa halusnya kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita ada.
Bila kita mencermati lingkungan kita, kita akan melihat ada dua jenis manusia. Yaitu manusia yang selalu “terpakai” dan manusia yang “tak terpakai”. Aduh, dari tadi istilahnya kok seram-seram begitu sih. Santai brow. Itu Cuma istilah. Agak pedes emang. Tapi diujungnya pasti gurih. Makanya, simak deh sampai habis.
OK. Balik lagi sama jenis orang “terpakai” dan orang “tak terpakai” tadi. Dalam tulisan ini yang dimaksud orang “terpakai” adalah orang yang selalu terlibat dalam kegiatan. Untuk urusan kampung dia terlibat. Yang jadi Bandar arisanlah, jadi panitia peringatan tujuh belas Agustus atau jadi panitia hajatan tetangga. Di organisasi, ia juga terpakai. Dalam rapat ia diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan orang akan dengan cermat mendengarkan apa yang dikatakannya. Wah nggak gampang itu. Dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Sementara orang “tak terpakai” justru kebalikannya. Ia jarang sekali terlibat dalam kegiatan. Ia jarang mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya. Bahkan saat bermusyawarahpun, orang tidak berkenan merespon pendapatnya. Pendek kata, orang emoh bener pakai dirinya. Maksudnya emoh pakai pemikirannya, emoh pakai pendapatnya dan emoh juga menjadikannya sebagai bagian dari tim mereka. Kebayang deh. Pasti nggak enak jadi orang jenis ini. Serasa diri tak berguna.
Kalau disuruh milih pasti kita akan memilih orang yang jenis pertama, “terpakai”.  Mau jadi orang jenis pertama ini? Kalau ingin jadi orang jenis ini kita harus pandai-pandai mengenali cirinya. Harapannya tentu kita bisa memposisikan diri menjadikan diri kita menjadi orang jenis pertama ini.
Ciri pertama orang ini adalah: suka dan mudah belajar.
Ia bukan orang yang pasif, yang bekerja hanya bila mendapatkan instruksi yang jelas.  Ia selalu ingin tahu apa yang ia belum tahu. Ia mencari informasi dari berbagai sumber untuk mendukung pekerjaannya. Bila ia mendapati kesulitan dalam menjalankan tugas, tidak tidak berputus asa. Ia akan terus dan terus belajar untuk meningkatkan kemampuan yang ia miliki.
Ciri yang kedua, bertanggungjawab.
Bila ia mendapatkan tugas, ia berusaha melaksanakan sebaik-baiknya.  Targetnya adalah mendapatkan hasil terbaik, tak peduli apapun yang harus dilakukannya dan tak peduli ia mendapatkan upah berapa. Bertanggungjawab juga berarti siap menghadapi resiko apapun dari tugas yang diterimanya. Ibarat pedagang, ia siap menanggung kerugian. Wah, siapa mau rugi?  Ya ini, orang jenis pertama ini!
Ciri yang ketiga, super hero.
Kok super hero? Hero itu kan pahlawan. Ya begitulah. Orang jenis pertama ini benar-benar super hero alias pahlawan. Bukan sok pahlawan lo, tapi emang bener-bener pahlawan. Pahlawan itu ibarat penyelamat. Orang jenis pertama ini suka sekali menjadi penyelamat. Mengubah keadaan genting dan sulit menjadi ……Tiiiiiiing!  Selamat deh.
Seperti dalam film-film itu.  Masalah datang. Pelik sekali.  Kesini mentok. Ke sana mentok. Pakai cara ini gagal. Pakai cara itu gak berhasil. Pokoknya sulit sekali dicari jalan keluarnya. Eh muncullah orang jenis pertama ini. Ia menyampaikan idenya untuk menyelesaikan masalah pelik yang sedang dihadapi.  Dan ide itu masuk akal. Ide itu dapat dilakukan. Ide itu mencerahkan, membuka wawasan orang-orang disekitarnya.  
Sama seperti seorang penjual yang ingin dagangannya laku maka ia harus menawarkan dagangannya. Kita juga. Kalau kita ingin diri kita laku dalam arti  banyak orang yang mencari kita untuk memberi pekerjaan (sumber pendapatan)  maka juallah diri kita dengan tiga ciri di atas. Suka dan mudah belajar, bertanggungjawab dan menjadi super Hero bagi lingkungan.
Emang, hanya tiga ciri itu yang bisa membuat kita laku? Tentu saja masih banyak yang lain. Tetapi memulainya dengan tiga ciri itu tentu bukanlah langkah yang salah. Bukankah jarak satu mil diawali dari satu langkah?


Ups… menjual diri!!  Traiffiking donk. Nanti dulu. Menjual diri yang ini bukan menjual diri yang berkonotasi negatif, tapi positif. Kok bisa?
Pada dasarnya setiap orang itu ingin eksis. Ingin diakui oleh siapapun. Tidak ingin diremehkan apa lagi dipandang sebelah mata. Contoh konkritnya ketika ketika berbicara, menyampaikan sesuatu. Kita pasti ingin orang mendengar apa yang kita bicarakan. Bahkan tidak hanya sekedar mendengarkan, kita ingin orang lain merespon apa yang kita katakan. Bila kita bicara dan orang lain mengabaikannya maka sungguh kita akan merasa sangat kecewa.
Itulah! Setiap kita pasti ingin diakui. Ingin dilihat. Ingin didengarkan. BIla kita punya kelebihan, kita ingin orang mengetahui kelebihan kita, kita ingin mereka mengapresiasi apa yang kita miliki. Nah dalam rangka memperjuangkan eksistensi itulah kita harus menjual diri. Bahasa halusnya kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita ada.
Bila kita mencermati lingkungan kita, kita akan melihat ada dua jenis manusia. Yaitu manusia yang selalu “terpakai” dan manusia yang “tak terpakai”. Aduh, dari tadi istilahnya kok seram-seram begitu sih. Santai brow. Itu Cuma istilah. Agak pedes emang. Tapi diujungnya pasti gurih. Makanya, simak deh sampai habis.
OK. Balik lagi sama jenis orang “terpakai” dan orang “tak terpakai” tadi. Dalam tulisan ini yang dimaksud orang “terpakai” adalah orang yang selalu terlibat dalam kegiatan. Untuk urusan kampung dia terlibat. Yang jadi Bandar arisanlah, jadi panitia peringatan tujuh belas Agustus atau jadi panitia hajatan tetangga. Di organisasi, ia juga terpakai. Dalam rapat ia diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan orang akan dengan cermat mendengarkan apa yang dikatakannya. Wah nggak gampang itu. Dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Sementara orang “tak terpakai” justru kebalikannya. Ia jarang sekali terlibat dalam kegiatan. Ia jarang mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya. Bahkan saat bermusyawarahpun, orang tidak berkenan merespon pendapatnya. Pendek kata, orang emoh bener pakai dirinya. Maksudnya emoh pakai pemikirannya, emoh pakai pendapatnya dan emoh juga menjadikannya sebagai bagian dari tim mereka. Kebayang deh. Pasti nggak enak jadi orang jenis ini. Serasa diri tak berguna.
Kalau disuruh milih pasti kita akan memilih orang yang jenis pertama, “terpakai”.  Mau jadi orang jenis pertama ini? Kalau ingin jadi orang jenis ini kita harus pandai-pandai mengenali cirinya. Harapannya tentu kita bisa memposisikan diri menjadikan diri kita menjadi orang jenis pertama ini.
Ciri pertama orang ini adalah: suka dan mudah belajar.
Ia bukan orang yang pasif, yang bekerja hanya bila mendapatkan instruksi yang jelas.  Ia selalu ingin tahu apa yang ia belum tahu. Ia mencari informasi dari berbagai sumber untuk mendukung pekerjaannya. Bila ia mendapati kesulitan dalam menjalankan tugas, tidak tidak berputus asa. Ia akan terus dan terus belajar untuk meningkatkan kemampuan yang ia miliki.
Ciri yang kedua, bertanggungjawab.
Bila ia mendapatkan tugas, ia berusaha melaksanakan sebaik-baiknya.  Targetnya adalah mendapatkan hasil terbaik, tak peduli apapun yang harus dilakukannya dan tak peduli ia mendapatkan upah berapa. Bertanggungjawab juga berarti siap menghadapi resiko apapun dari tugas yang diterimanya. Ibarat pedagang, ia siap menanggung kerugian. Wah, siapa mau rugi?  Ya ini, orang jenis pertama ini!
Ciri yang ketiga, super hero.
Kok super hero? Hero itu kan pahlawan. Ya begitulah. Orang jenis pertama ini benar-benar super hero alias pahlawan. Bukan sok pahlawan lo, tapi emang bener-bener pahlawan. Pahlawan itu ibarat penyelamat. Orang jenis pertama ini suka sekali menjadi penyelamat. Mengubah keadaan genting dan sulit menjadi ……Tiiiiiiing!  Selamat deh.
Seperti dalam film-film itu.  Masalah datang. Pelik sekali.  Kesini mentok. Ke sana mentok. Pakai cara ini gagal. Pakai cara itu gak berhasil. Pokoknya sulit sekali dicari jalan keluarnya. Eh muncullah orang jenis pertama ini. Ia menyampaikan idenya untuk menyelesaikan masalah pelik yang sedang dihadapi.  Dan ide itu masuk akal. Ide itu dapat dilakukan. Ide itu mencerahkan, membuka wawasan orang-orang disekitarnya.  
Sama seperti seorang penjual yang ingin dagangannya laku maka ia harus menawarkan dagangannya. Kita juga. Kalau kita ingin diri kita laku dalam arti  banyak orang yang mencari kita untuk memberi pekerjaan (sumber pendapatan)  maka juallah diri kita dengan tiga ciri di atas. Suka dan mudah belajar, bertanggungjawab dan menjadi super Hero bagi lingkungan.
Emang, hanya tiga ciri itu yang bisa membuat kita laku? Tentu saja masih banyak yang lain. Tetapi memulainya dengan tiga ciri itu tentu bukanlah langkah yang salah. Bukankah jarak satu mil diawali dari satu langkah?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar