Kamis, 05 April 2012

Ganti Kacamata Yuks


Suatu hari datang seorang siswa menyampaikan curhatnya kepadaku. Ia datang dengan wajah yang sangat kusut. Rupanya ia sedang menghadapi masalah. Benar saja. Beberapa detik setelah kalimat pertamanya keluar, curahan kata hati nya muncrat semua. Seperti bendungan yang baru saja pintu airnya terbuka. Ia bercerita bagaimana tidak nyamannya dia di rumah. Ibunya sangat cerewet. Semua yang dilakukannya salah. Menurutnya ia sudah berbuat yang benar tetapi selalu saja dianggap salah. Ia benci dengan ayahnya yang selalu menganggapnya anak kecil. Tidak pernah mempercayai kata-katanya. Ia sebal dengan kakaknya yang sok pinter. Ia benci sama adiknya gak gak pernah mau nurut kalau diberi nasehat. Berjam-jam ia bercerita tentang dukanya menghadapi orang-orang brengsek di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, ia datang lagi. Seperti yang biasa ia lakukan, curhat. Kali ini tentang teman satu bangkunya. Ia mengeluhkan ulah teman satu bangkunya yang suka pinjam barang tapi nggak pernah mau mengembalikan. “Hari ini penghapus, kemarin pensil, kemarin lusa ia pinjam uangku limaratus untuk menambahi kekurangan beli kue sampai sekarang belum dikembalikan!” katanya bersungut-sungut.
Beberapa hari setelahnya, ia datang lagi. Curhat juga. Cowoknya menjengkelkan, mau menang sendiri. Beberapa kali ia harus bertengkar hebat dengan cowoknya karena masalah “kepercayaan”. Ia sangat berapi-api menunjukkan segudang kejelekan cowoknya itu, seolah-olah dia sangat membencinya dan tidak ingin melihat mukanya.
Aku merenung. Betapa malangnya dia. Semua orang jahat kepadanya. Ia tidak mendapatkan tempat yang nyaman di manapun dia berada. Di rumah dia tidak nyaman karena hubungan social dengan keluarganya tidak baik. Di sekolah dia juga tidak merasa nyaman, karena semua teman-temannya brengsek. Ndilalah e dapat cowok juga brengsek.
Suatu ketika, aku bertemu dengan teman satu kelasnya. Setelah ber-say hello kamipun ngobrol. Kutanyakan padanya bagaimana perasaannya berada di kelasnya? Dia tersenyum lebar. Dia mengatakan bahwa ia beruntung berada di kelas itu. Teman-temannya kompak, saling membantu dan saling peduli. Mereka mengerjakan tugas bersama-sama dan saling mendukung. Oh ya?, tanyaku dalam hati. Sungguh aku jadi penasaran. Kutanya bagaimana pendapatnya tentang salah seorang temannya (yang suka curhat itu). Ia menjawab: “Dia baik. Sama seperti temanku yang lain, kami saling mendukung!”
Aku terperangah. Aku jadi ingat buku yang pernah aku baca, Chiken Shoup for Children Soul. Baik-buruk dunia itu tergantung dari bagaimana kita memandangnya. Seseorang melihat dunia gelap, bukan berarti dunia memang gelap adanya. Karena ada orang yang melihat dunia ini indah. Orang yang melihat dunia ini gelap akan selalu berada dalam kegelapan. Semua suram. Mengerikan. Semua orang menjadi musuh. Sebaliknya orang yang melihat dunia ini indah semuanya ya terasa menyenangkan. Ia dikelilingi oleh banyak sahabat yang akan mendukung dan juga akan didukungnya. Indah dan menyenangkan. Padahal kalau dipikir dunia ini ya satu. Ya yang kita tempati ini. Ditempati oleh mereka yang melihatnya gelap dan juga oleh mereka yang melihatnya cerah.
Maka kalau kita melihat dunia ini gelap, jangan ubah dunia melainkan ubah kacamata kita. Mungkin kacamata yang kita pakai itu kacamata belor yang warnanya hitam sehingga kalau kita pakai semuanya menjadi gelap. Pakailah kacamata yang bening lensanya sehingga kita bisa melihat semuanya tampak bening dan indah. Kalau kita merasa semua serba salah, jangan terburu-buru menyalahkan karena mungkin bukan mereka yang salah tetapi kita.
Ah siapapun boleh salah. Einstein aja yang super genius juga melakukan kesalahan dalam penelitiannya, apa lagi kita yang gak pernah meneliti apa-apa. (tidak ada yang diteliti mana ada yang salah dan yang benar, he…. He…. He).
Salah itu hal biasa. Yang luar biasa adalah memperbaiki kesalahan kita. Gimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar