Rabu, 26 November 2014

Mengenang guru di hari guru

foto guru diambil dari sini




Selamat hari guru untuk semua guru! Hari ini Selasa tanggal 25 Nopember diperingati sebagai hari Guru. Banyak hal dilakukan untuk memperingati hari guru. Mulai dari memperingati di sekolah dengan melibatkan guru sebagai petugasnya, saling mengirimkan pesan selamat dan juga  bersilaturahmi kerumah guru.
Saya juga ingin memperingati hari guru ini dengan caraku sendiri yaitu mengenang guruku.


Guru TK
Ada beberapa guru yang aku kenal ketika aku TK tapi tidak semuanya kuingat dengan baik. Maklumlah sudah puluhan tahun yang lalu. Yang kuingat beliau adalah bu Tutik. Wajahnya bulat. Yang kuingat beliau selalu bersanggul. Beliau suka tersenyum lebar menyambut kami. Mengajari kami menyanyi dan dengan semangat mengajak kami bertepuk tangan. Kamipun bernyanyi dengan keras sekeras kerasnya. Bu Tutik juga suka mendongeng.
Dulu  aku dan seorang teman dikirim ke kecamatan  untuk mengikuti lomba nyanyi.   Kalau tidak salah ada bu camat yang hadir menyaksikan acara itu. Aku sudah dilatih beberapa hari sebelumnya. Tapi aku benar-benar nggak “bunyi” di saat yang seharusnya. Bu Tutik dan guru-guruku yang lain berusaha membujuk agar aku berbunyi tapi usaha mereka sia-sia. Untunglah temanku yang bernama Upik yang rambutnya keriting berhasil menjadi juara II dalam lomba itu.
Guruku, maafkan aku untuk semua itu. Bisa terbayang betapa malunya beliau karena ternyata jagonya gak berani bertanding.

Guru SD
Guru SD yang dapat kukenang lebih banyak lagi. Bu Umi Salbijatun yang sering kami panggil bu Bid. Beliau bertubuh gemuk seperti ibuku. Rambutnya juga selalu disanggul. Bajunya selalu rapi dan bersepatu. Beliau mengajarku di kelas satu. Beliau mengajari kami membaca dan menulis. Suaranya sangat keras sehingga kami yang duduk dibangku paling belakangpun bisa mendengar jelas suaranya. Yang paling kuingat dari beliau adalah caranyanya mengajari kami menulis. Kami harus menuliskan huruf di udara dengan mata tertutup. Kami menulis dengan perasaan sampai kami benar benar hafal huruf apa tulisannya  bagaimana.
Guruku yang lain bernama bu Siti Maryam. Beliau berkulit bersih dan berambut keriting halus. Menurutku beliau pintar sekali. Bu Yam, begitu kami memanggilnya mengajar matematika. Dibandingkan guru-guruku yang  lain, bu Yam lebih pendiam. Hal yang paling kuingat dari beliau adalah beliau mengajariku tentang kesopanan. Waktu beliau memberi kami soal, aku mengacungkan tangan minta ditunjuk untuk mengerjakan  sambil berkata “saya bu, saya bu” sehingga teman-temanku nggak konsen.  Beliau marah. Wajahnya merah dan melotot ke arahku “Beri kesempatan teman lainnya!” kata beliau judes. Aduh malu sekali. Teguran itu membuat aku tidak berani lagi angkat tangan.
Kejadian itu selalu mengingatkanku tentang bagaimana seharusnya menjaga sikap.
Ada juga bu Rumi. Beliau berperawakan kurus. Beliau mengajar bahasa Indonesia. Di kelas empat beliau pernah marah-marah dan menjewer telinga teman sebangkuku sampai merah. Pasalnya ketika beliau sedang mengajar di kelas kami, tiba tiba ada suara berdengung di atas kami, suara pesawat terbang. Sontak sebagian besar kami berhamburan ke luar untuk melihat pesawat terbang. Bagi kami saat itu, pesawat terbang adalah salah satu tontonan yang menarik.
Yang kusuka dari bu Rumi adalah beliau selalu memberi kami tugas meringkas cerita atau mengarang. Kami disuruh membaca sebuah cerita setelah itu menceritakan kembali isi bacaan. Awalnya sulit sekali kami memahami perintah itu, karena kami tidak boleh mengutip kalimat dalam bacaan itu. Kami harus mengeluarkan kalimat kalimat kami sendiri. Karena berulang-ulang tugas ini diberikan, aku jadi terbiasa dan menjadi sangat menyukai.
Juga mengarang. Wah paling suka deh kalau dapat tugas mengarang. Aku selalu mendapat kertas lebih banyak dari teman-temanku, karena aku selalu bilang “Bu kertasnya kurang”.
Pak Agus lain lagi. Beliau sangat jangkung. Selain mengajar IPA, beliau juga pandai sekali menari. Ibuku meminta pak Agus untuk mengajariku menari. Ibuku ingin aku pandai menari. Aku suka sih meski sebetulnya aku tidak bisa menari. Biasanya yang dipilih untuk dilatih menari adalah siswa perempuan yang cantik cantik dan selalu pasti menjadi siswa populer di sekolah kami.
Menjadi salah satu siswa yang dilatih menari menurutku keren, jadi ya aku senang saja. Kini kurasa betapa waktu itu pak Agus geram karena selalu membetulkan gerakanku yang salah.
Pak Wajir guru agamaku. Beliau suka sekali bercerita tentang kisah kisah nabi. Aku benar benar terhipnotis dengan kisah nabi Ibrahim. Begitu menghayatinya cerita itu sampai sampai aku pernah ingin mencoba menjadi seperti nabi ibrahim, merasakan panasnya api.
Waktu itu aku sedang menunggui bapakku menyalakan lampu minyak besar, biasa kami sebut lampu strongking. Lampu itu nyalanya terang sekali, seperti lampu listrik. Ukurannya cukup besar. Untuk membuatnya menyala ia harus dipompa. Bapakku selalu menuangkan spiritus di wadah berbentuk bengkok di dalam lampu itu, kemudian menyulutnya dengan api.
Nah pada saat itu aku bermain spiritus. Kutuangkan spiritus itu ditanganku dan kemudian kusulut api. Beb.... api langsung berkobar ditanganku. Bapak panik sekali berusaha mematikan api itu. Aku menjerit jerit kesakitan. Rasa sakit dan panas itu kurasakan berhari-hari setelahnya. Ketika ditanya mengapa aku melakukan itu aku  balik bertanya,  Nabi Ibrahim kok nggak pa pa dibakar?

Guru SMP
Guru SMP tambah banyak lagi. Yang kuingat guru matematika. Pak Sigit guru kelas satu dan dua. Pak Rifai guru kelas tiga. Menurutku beliau itu pinter-pinter ya. Melihat pak Sigit menyelesaikan persamaan Kuadrat di papan bikin aku terbengong-bengong. Pak Sigit juga bikin Mading dan mengadakan lomba cipta puisi. Dua puisiku yang kuikut sertakan dapat juara. Yang satu juara 1 satunya lagi juara 3.
Pak Rifai guru matematikaku yang lain. Beliau super pendiam dan selalu baca koran. Beliau tidak banyak menjelaskan tapi banyak memberikan soal. Soalnya selalu suliiiiiiiit kelas wahid. Kalau bisa mengerjakan soalnya pak Rifai, duh bangganya setengah mati. Serasa jadi orang pinter deh.
Oh ya ada juga yang selalu kuingat, pak Darminto. Beliau itu penuh kharisma. Beliau mengajar Fisika dan terkenal sebagai guru yang galak. Tidak ada ampun untuk siswa yang tidak masuk.
Waktu kelas tiga, ibuku meninggal. Untuk beberapa hari aku tidak masuk. Karena absen mengikuti pelajaran beliau aku diberi tugas menggambar bayangan cermin cekung dan cermin cembung buanyak sekali. Satu soal harus kukerjakan lima kali. Kulembar tugas itu hingga aku tidak tidur dan harus dientup lebah. Tapi karena tugas itu aku yang semula tidak paham fisika menjadi semakin paham. Materi itu di kemudian hari menjadi materi favoritku.
Ada guru yang juga tidak bisa kulupakan yaitu bu Sri Wahyuningsih. Beliau mengajar bahasa Indonesia. Beliau agak cedal. Tapi aku suka mengikuti pelajarannya. Aku pernah disuruh membaca dialog dengan cowok yang aku sukai di kelas itu, duh senangnya. Bu Sri sepertinya tahu kalau aku sedang jatuh cinta, sehingga selalu mengait ngaitkan aku dengan cowok itu. Pengalaman yang tak pernah kulupakan.

Guru SMA
Pak Suhud, guru kimiaku di kelas dua dan kelas tiga. Aku super super kagum dengan guru yang pernah menjadi wakakur di sekolahku itu. Ia berperawakan tinggi besar, mirip komedian “Diran” pada masa itu. Tapi Pak Suhud itu super keren. Aku menjadi semakin cintrong sama mata pelajaran kimia. Aku pernah minta penjelasan khusus tentang ikatan kovalen. Aku bingung  mengapa atom N bisa mengikat sesama dengan tiga tangannya sekaligus. Tapi pak Suhud menanggapinya dengan senyum. Juga konfigurasi elektron, juga stokiometri.  Pak Suhud selalu bilang, coba pelajari lagi, baca lagi. Pak Suhud tidak pernah memuaskanku dengan jawabannya, tetapi pak Suhud membuatku penasaran. Kalau aku bilang, gak bisa ini pak. Beliau menjawabnya: bisa. Ih pak Suhud, sungutku selalu setelah pak Suhud pergi. Pak Suhudlah orang yang  paling bertanggungjawab atas kejatuhcintaanku dengan mata pelajaran kimia.
Pelajaran penting lain dari pak Suhud. Di kelas tiga, kelas diacak. Aku harus berpisah kelas dengan  sahabatku, Nyzmah. Aku protes pada pak Suhud. Aku minta dijadikan satu kelas dengan Nyzmah. Beliau menolak dan berkata: dikelas baru kamu akan mendapatkan sahabat baru, sementara kamu tetap bersahabat dengan Nyzmah. Jangan membuat kotak untuk dirimu sendiri. itu petuahnya, sebelum pergi meninggalkan aku yang menangis sesenggukan.
Sungguh saat itu aku tidak paham dengan apa yang beliau katakan. Tepatnya tidak mau memahami. Aku hanya marah karena keinginanku tidak terpenuhi. Tapi aku tak bisa berbuat apa apa. Sekarang, aku memahami apa yang beliau maksud. “Jangan membuat kotak untuk dirimu sendiri!”
Bu Aksi guru matematika. Beliau berperawakan kecil. Wajahnya dingin. Tidak suka tersenyum tapi bila mengucapkan satu dua kalimat candaan, kami bisa tertawa terpingkal pingkal. Guru ini juga jago matematika. Beliau seperti hafal semua rumus matematika. Kalau masuk kelas beliau akan berjalan mengitari kami sambil mbondo tangan. Buku matematika ditekuk, dipegang dibelakang tubuhnya yang mungil sambil terus bicara. Menjelaskan dan bertanya.
Yang paling kami takuti adalah disuruh maju dan mengerjakan di papan tulis. Beliau memberi kami soal soal yang harus kita kerjakan dirumah dan dibahas di sekolah. Kami boleh mengabaikan tugas dari guru lain, yang tidak membahas tugas yang diberikan. Tapi tidak untuk bu Aksi. Semua tugas selalu di bahas di kelas dan tidak ada kompromi. Jadi jangan sekali kali tidak mengerjakan tugas bu Aksi, apapun yang terjadi, begitu kami saling menasehati satu sama lain.
Di SMA aku juga mulai menyukai bahasa Inggris. Guru bahasa Inggrisnya OK banget. Sayang aku lupa nama beliau. Tapi aku masih ingat dengan jelas wajah dan perawakannya, bahkan bagaimana bahasa tubuhnya saat mengajar di kelas. Aku enggan sekali meninggalkan pelajaran yang mulai menjadi favoritku itu. Beliau selalu ekspresif dalam mereward kami. Setiap kali kami bisa menjawab pertanyaannya, beliau selalu bertanya: no absennya mbak? Kemudian menuliskan sesuatu di buku daftar nilai panjangnya. Itu membuat kami semua bergairah menjawab pertanyaannya. Bagiku sendiri, aku merasa sangat dihargai. (ini menginspirasiku setelah aku menjadi guru)
Guru bahasa Indonesia juga selalu kukenang sampai saat ini, meski aku lupa nama beliau. Aku dibantu  membuat karya tulis untuk aku ikutsertakan pada lomba penulisan karya tulis yang diadakan LIPI. Gak juara sih, tapi lumayanlah pernah berbuah sesuatu. Guru bahasa Indonesiaku juga memberiku kesempatan untuk menjadi sutradara sekaligus pemeran utama dalam monolog singkat, pada pelajaran teater.
Suatu ketika saat pelajaran bahasa Indonesia guruku mengajarkan tentang kata sapaan dan meminta kami untuk menyebutkannya satu persatu kalimat yang menggunakan kata sapaan itu. Semua kata sapaan sudah disebut dan ditulis di papan tulis. Sang, si, tuan, pak, bapak dan yang lain. Tapi guruku masih juga meminta kami untuk menyebutkan. Suasana hening karena kami berpikir keras. Tiba-tiba ada sesuatu nyelonong dibenakku. Akupun angkat tangan. Setelah guruku memberiku kesempatan, aku berkata: “Datanglah kasih, aku rindu”. Hua... sontak semua siswa tertawa kencang. Guruku tersenyum dan segera mengakhiri sesi itu.

Dosen Perguruan Tinggi
Aku melanjutkan ke Institut Keguruan Ilmu Pendidikan atau disingkat IKIP. Aku mengambil jurusan Pendidikan Kimia. Awalnya bukan karena aku ingin menjadi guru kimia tetapi karena ancaman orang tua, kalau ingin tetap kuliah masuk IKIP. Kata bapakku SPP nya lebih murah sih. Ya sudah ngikut saja dari pada gak kuliah. Syaratnya aku ambil jurusan Kimia dan S1.
Dari awal masuk, auranya sudah “calon guru”. Di awal perkuliahan  dosen dosen selalu mengingatkan: anda adalah calon guru, ingat itu. Kami tidak boleh mengenakan celana panjang. Baju harus rapi. Sepatu harus pantopel. Pokoknya dari fisik harus tampil sebagai seorang calon pendidik.
Bu Puji, dosen kimia analisa kualitatif dan kimia sekolah II. Kami ditunjukkan berbagai macam timbangan termasuk timbangan di ruang khusus yaitu timbangan analitik. Mata pelajaran ini sembilan puluh persen masuk lab. Tapi bu Puji selalu enerjik bergerak ke sana kemari, membuat kami jadi ikut ikutan bersemangat.
Pak Said, dosen kimia anorganik. Pelit sekali dalam memberi nilai. Aku gak lulus mata kuliah ini dan harus mengulang tahun berikutnya. Tapi alhamdulillah mata diklat evaluasi lulus. Pelajaran penting dari pak Said, “Make the best”
Pak Said ini motivator juga. Dalam berbagai kesempatan beliau selalu membakar semangat kami dengan “Make The Best”-nya. Dengan ceritanya belajar di luar negeri.
Yang juga selalu kuingat adalah bu Roes Kusno. Beliau gemuk dengan kacamata yang ada talinya.  Mata kuliahnya Kimia bahan Pangan. Mata kuliah pilihan, tapi serem.
Beliau juga mengampu mata kuliah micro teaching. Kami praktek mengajar siswa beneran di studio jurusan, dishoting setelah itu diputar di kelas, ditonton bareng-bareng. Didiskusikan bareng-bareng. Wah habis-habisan deh dibabat sama bu Roes.
Anda calon guru SMA lo ingat itu! Apersepsinya, pertanyaannya, waktu jeda, bahasanya. Jangan seperti guru TK!
Profesor Tresna. Lembut dan simpatik. Beliau selalui didampingi dosen muda yang cantik, bu Susana. Prof Tresna selalu memberi tugas kami dengan materi berbahasa Inggris. Mata kuliahnya Kimia Sekolah III dan Orlab. Karena minimnya literatur kami, kami harus menyambangi rumah beliau untuk meminjam buku buku beliau.
Dari yang kuingat semua tentang dosen dosenku, rumah rumah mereka sangat sederhana. Rumah Pak Habib di Pecindilan, rumah prof tresna, rumah pak Pak Basuki  sangat sederhana. Di rumah sederhana itu selalu banyak tumpukan buku-buku. Tampaknya harta utama mereka adalah buku. Di mataku, semua itu keren. Beliau adalah orang-orang yang rajin belajar.  
Masih banyak guru yang tak bisa kuingat. Bukan karena aku tidak menghargai beliau tapi karena keterbatasanku. Semoga beliau selalu mendapat rahmatNya. Semoga beliau selalu mendapat pahala yang setimpal atas dedikasinya.
Selamat hari guru untuk semua guru. Semoga kita menjadi guru yang amanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar