foto guru diambil dari sini |
Selamat hari guru untuk semua guru!
Hari ini Selasa tanggal 25 Nopember diperingati sebagai hari Guru. Banyak hal
dilakukan untuk memperingati hari guru. Mulai dari memperingati di sekolah
dengan melibatkan guru sebagai petugasnya, saling mengirimkan pesan selamat dan
juga bersilaturahmi kerumah guru.
Saya juga ingin memperingati hari
guru ini dengan caraku sendiri yaitu mengenang guruku.
Guru TK
Ada beberapa guru yang aku kenal
ketika aku TK tapi tidak semuanya kuingat dengan baik. Maklumlah sudah puluhan
tahun yang lalu. Yang kuingat beliau adalah bu Tutik. Wajahnya bulat. Yang
kuingat beliau selalu bersanggul. Beliau suka tersenyum lebar menyambut kami.
Mengajari kami menyanyi dan dengan semangat mengajak kami bertepuk tangan.
Kamipun bernyanyi dengan keras sekeras kerasnya. Bu Tutik juga suka mendongeng.
Dulu aku dan seorang teman dikirim ke
kecamatan untuk mengikuti lomba nyanyi. Kalau
tidak salah ada bu camat yang hadir menyaksikan acara itu. Aku sudah dilatih
beberapa hari sebelumnya. Tapi aku benar-benar nggak “bunyi” di saat yang
seharusnya. Bu Tutik dan guru-guruku yang lain berusaha membujuk agar aku
berbunyi tapi usaha mereka sia-sia. Untunglah temanku yang bernama Upik yang
rambutnya keriting berhasil menjadi juara II dalam lomba itu.
Guruku, maafkan aku untuk semua itu.
Bisa terbayang betapa malunya beliau karena ternyata jagonya gak berani
bertanding.
Guru SD
Guru SD yang dapat kukenang lebih
banyak lagi. Bu Umi Salbijatun yang sering kami panggil bu Bid. Beliau bertubuh
gemuk seperti ibuku. Rambutnya juga selalu disanggul. Bajunya selalu rapi dan
bersepatu. Beliau mengajarku di kelas satu. Beliau mengajari kami membaca dan
menulis. Suaranya sangat keras sehingga kami yang duduk dibangku paling
belakangpun bisa mendengar jelas suaranya. Yang paling kuingat dari beliau
adalah caranyanya mengajari kami menulis. Kami harus menuliskan huruf di udara
dengan mata tertutup. Kami menulis dengan perasaan sampai kami benar benar
hafal huruf apa tulisannya bagaimana.
Guruku yang lain bernama bu Siti
Maryam. Beliau berkulit bersih dan berambut keriting halus. Menurutku beliau
pintar sekali. Bu Yam, begitu kami memanggilnya mengajar matematika.
Dibandingkan guru-guruku yang lain, bu
Yam lebih pendiam. Hal yang paling kuingat dari beliau adalah beliau
mengajariku tentang kesopanan. Waktu beliau memberi kami soal, aku mengacungkan
tangan minta ditunjuk untuk mengerjakan
sambil berkata “saya bu, saya bu” sehingga teman-temanku nggak konsen. Beliau marah. Wajahnya merah dan melotot ke
arahku “Beri kesempatan teman lainnya!” kata beliau judes. Aduh malu sekali.
Teguran itu membuat aku tidak berani lagi angkat tangan.
Kejadian itu selalu mengingatkanku
tentang bagaimana seharusnya menjaga sikap.
Ada juga bu Rumi. Beliau
berperawakan kurus. Beliau mengajar bahasa Indonesia. Di kelas empat beliau
pernah marah-marah dan menjewer telinga teman sebangkuku sampai merah. Pasalnya
ketika beliau sedang mengajar di kelas kami, tiba tiba ada suara berdengung di
atas kami, suara pesawat terbang. Sontak sebagian besar kami berhamburan ke
luar untuk melihat pesawat terbang. Bagi kami saat itu, pesawat terbang adalah
salah satu tontonan yang menarik.
Yang kusuka dari bu Rumi adalah
beliau selalu memberi kami tugas meringkas cerita atau mengarang. Kami disuruh
membaca sebuah cerita setelah itu menceritakan kembali isi bacaan. Awalnya
sulit sekali kami memahami perintah itu, karena kami tidak boleh mengutip
kalimat dalam bacaan itu. Kami harus mengeluarkan kalimat kalimat kami sendiri.
Karena berulang-ulang tugas ini diberikan, aku jadi terbiasa dan menjadi sangat
menyukai.
Juga mengarang. Wah paling suka deh
kalau dapat tugas mengarang. Aku selalu mendapat kertas lebih banyak dari
teman-temanku, karena aku selalu bilang “Bu kertasnya kurang”.
Pak Agus lain lagi. Beliau sangat
jangkung. Selain mengajar IPA, beliau juga pandai sekali menari. Ibuku meminta
pak Agus untuk mengajariku menari. Ibuku ingin aku pandai menari. Aku suka sih
meski sebetulnya aku tidak bisa menari. Biasanya yang dipilih untuk dilatih
menari adalah siswa perempuan yang cantik cantik dan selalu pasti menjadi siswa
populer di sekolah kami.
Menjadi salah satu siswa yang
dilatih menari menurutku keren, jadi ya aku senang saja. Kini kurasa betapa
waktu itu pak Agus geram karena selalu membetulkan gerakanku yang salah.
Pak Wajir guru agamaku. Beliau suka
sekali bercerita tentang kisah kisah nabi. Aku benar benar terhipnotis dengan
kisah nabi Ibrahim. Begitu menghayatinya cerita itu sampai sampai aku pernah
ingin mencoba menjadi seperti nabi ibrahim, merasakan panasnya api.
Waktu itu aku sedang menunggui
bapakku menyalakan lampu minyak besar, biasa kami sebut lampu strongking. Lampu
itu nyalanya terang sekali, seperti lampu listrik. Ukurannya cukup besar. Untuk
membuatnya menyala ia harus dipompa. Bapakku selalu menuangkan spiritus di
wadah berbentuk bengkok di dalam lampu itu, kemudian menyulutnya dengan api.
Nah pada saat itu aku bermain
spiritus. Kutuangkan spiritus itu ditanganku dan kemudian kusulut api. Beb....
api langsung berkobar ditanganku. Bapak panik sekali berusaha mematikan api
itu. Aku menjerit jerit kesakitan. Rasa sakit dan panas itu kurasakan
berhari-hari setelahnya. Ketika ditanya mengapa aku melakukan itu aku balik bertanya, Nabi Ibrahim kok nggak pa pa dibakar?
Guru SMP
Guru SMP tambah banyak lagi. Yang
kuingat guru matematika. Pak Sigit guru kelas satu dan dua. Pak Rifai guru
kelas tiga. Menurutku beliau itu pinter-pinter ya. Melihat pak Sigit menyelesaikan
persamaan Kuadrat di papan bikin aku terbengong-bengong. Pak Sigit juga bikin
Mading dan mengadakan lomba cipta puisi. Dua puisiku yang kuikut sertakan dapat
juara. Yang satu juara 1 satunya lagi juara 3.
Pak Rifai guru matematikaku yang
lain. Beliau super pendiam dan selalu baca koran. Beliau tidak banyak
menjelaskan tapi banyak memberikan soal. Soalnya selalu suliiiiiiiit kelas
wahid. Kalau bisa mengerjakan soalnya pak Rifai, duh bangganya setengah mati. Serasa
jadi orang pinter deh.
Oh ya ada juga yang selalu kuingat,
pak Darminto. Beliau itu penuh kharisma. Beliau mengajar Fisika dan terkenal
sebagai guru yang galak. Tidak ada ampun untuk siswa yang tidak masuk.
Waktu kelas tiga, ibuku meninggal.
Untuk beberapa hari aku tidak masuk. Karena absen mengikuti pelajaran beliau
aku diberi tugas menggambar bayangan cermin cekung dan cermin cembung buanyak
sekali. Satu soal harus kukerjakan lima kali. Kulembar tugas itu hingga aku
tidak tidur dan harus dientup lebah.
Tapi karena tugas itu aku yang semula tidak paham fisika menjadi semakin paham.
Materi itu di kemudian hari menjadi materi favoritku.
Ada guru yang juga tidak bisa
kulupakan yaitu bu Sri Wahyuningsih. Beliau mengajar bahasa Indonesia. Beliau agak
cedal. Tapi aku suka mengikuti pelajarannya. Aku pernah disuruh membaca dialog
dengan cowok yang aku sukai di kelas itu, duh senangnya. Bu Sri sepertinya tahu
kalau aku sedang jatuh cinta, sehingga selalu mengait ngaitkan aku dengan cowok
itu. Pengalaman yang tak pernah kulupakan.
Guru SMA
Pak Suhud, guru kimiaku di kelas dua
dan kelas tiga. Aku super super kagum dengan guru yang pernah menjadi wakakur
di sekolahku itu. Ia berperawakan tinggi besar, mirip komedian “Diran” pada
masa itu. Tapi Pak Suhud itu super keren. Aku menjadi semakin cintrong sama
mata pelajaran kimia. Aku pernah minta penjelasan khusus tentang ikatan
kovalen. Aku bingung mengapa atom N bisa
mengikat sesama dengan tiga tangannya sekaligus. Tapi pak Suhud menanggapinya
dengan senyum. Juga konfigurasi elektron, juga stokiometri. Pak Suhud selalu bilang, coba pelajari lagi,
baca lagi. Pak Suhud tidak pernah memuaskanku dengan jawabannya, tetapi pak
Suhud membuatku penasaran. Kalau aku bilang, gak bisa ini pak. Beliau
menjawabnya: bisa. Ih pak Suhud, sungutku selalu setelah pak Suhud pergi. Pak
Suhudlah orang yang paling bertanggungjawab
atas kejatuhcintaanku dengan mata pelajaran kimia.
Pelajaran penting lain dari pak
Suhud. Di kelas tiga, kelas diacak. Aku harus berpisah kelas dengan sahabatku, Nyzmah. Aku protes pada pak Suhud. Aku
minta dijadikan satu kelas dengan Nyzmah. Beliau menolak dan berkata: dikelas
baru kamu akan mendapatkan sahabat baru, sementara kamu tetap bersahabat dengan
Nyzmah. Jangan membuat kotak untuk dirimu sendiri. itu petuahnya, sebelum pergi
meninggalkan aku yang menangis sesenggukan.
Sungguh saat itu aku tidak paham
dengan apa yang beliau katakan. Tepatnya tidak mau memahami. Aku hanya marah
karena keinginanku tidak terpenuhi. Tapi aku tak bisa berbuat apa apa. Sekarang,
aku memahami apa yang beliau maksud. “Jangan membuat kotak untuk dirimu
sendiri!”
Bu Aksi guru matematika. Beliau berperawakan
kecil. Wajahnya dingin. Tidak suka tersenyum tapi bila mengucapkan satu dua
kalimat candaan, kami bisa tertawa terpingkal pingkal. Guru ini juga jago
matematika. Beliau seperti hafal semua rumus matematika. Kalau masuk kelas
beliau akan berjalan mengitari kami sambil mbondo
tangan. Buku matematika ditekuk, dipegang dibelakang tubuhnya yang mungil
sambil terus bicara. Menjelaskan dan bertanya.
Yang paling kami takuti adalah
disuruh maju dan mengerjakan di papan tulis. Beliau memberi kami soal soal yang
harus kita kerjakan dirumah dan dibahas di sekolah. Kami boleh mengabaikan
tugas dari guru lain, yang tidak membahas tugas yang diberikan. Tapi tidak
untuk bu Aksi. Semua tugas selalu di bahas di kelas dan tidak ada kompromi. Jadi
jangan sekali kali tidak mengerjakan tugas bu Aksi, apapun yang terjadi, begitu
kami saling menasehati satu sama lain.
Di SMA aku juga mulai menyukai
bahasa Inggris. Guru bahasa Inggrisnya OK banget. Sayang aku lupa nama beliau. Tapi
aku masih ingat dengan jelas wajah dan perawakannya, bahkan bagaimana bahasa
tubuhnya saat mengajar di kelas. Aku enggan sekali meninggalkan pelajaran yang
mulai menjadi favoritku itu. Beliau selalu ekspresif dalam mereward kami. Setiap
kali kami bisa menjawab pertanyaannya, beliau selalu bertanya: no absennya
mbak? Kemudian menuliskan sesuatu di buku daftar nilai panjangnya. Itu membuat
kami semua bergairah menjawab pertanyaannya. Bagiku sendiri, aku merasa sangat dihargai.
(ini menginspirasiku setelah aku menjadi guru)
Guru bahasa Indonesia juga selalu
kukenang sampai saat ini, meski aku lupa nama beliau. Aku dibantu membuat karya tulis untuk aku ikutsertakan
pada lomba penulisan karya tulis yang diadakan LIPI. Gak juara sih, tapi
lumayanlah pernah berbuah sesuatu. Guru bahasa Indonesiaku juga memberiku
kesempatan untuk menjadi sutradara sekaligus pemeran utama dalam monolog
singkat, pada pelajaran teater.
Suatu ketika saat pelajaran bahasa
Indonesia guruku mengajarkan tentang kata sapaan dan meminta kami untuk
menyebutkannya satu persatu kalimat yang menggunakan kata sapaan itu. Semua kata
sapaan sudah disebut dan ditulis di papan tulis. Sang, si, tuan, pak, bapak dan
yang lain. Tapi guruku masih juga meminta kami untuk menyebutkan. Suasana hening
karena kami berpikir keras. Tiba-tiba ada sesuatu nyelonong dibenakku. Akupun angkat
tangan. Setelah guruku memberiku kesempatan, aku berkata: “Datanglah kasih, aku
rindu”. Hua... sontak semua siswa tertawa kencang. Guruku tersenyum dan segera
mengakhiri sesi itu.
Dosen Perguruan Tinggi
Aku melanjutkan ke Institut Keguruan
Ilmu Pendidikan atau disingkat IKIP. Aku mengambil jurusan Pendidikan Kimia. Awalnya
bukan karena aku ingin menjadi guru kimia tetapi karena ancaman orang tua,
kalau ingin tetap kuliah masuk IKIP. Kata bapakku SPP nya lebih murah sih. Ya
sudah ngikut saja dari pada gak kuliah. Syaratnya aku ambil jurusan Kimia dan
S1.
Dari awal masuk, auranya sudah “calon
guru”. Di awal perkuliahan dosen dosen
selalu mengingatkan: anda adalah calon guru, ingat itu. Kami tidak boleh
mengenakan celana panjang. Baju harus rapi. Sepatu harus pantopel. Pokoknya dari
fisik harus tampil sebagai seorang calon pendidik.
Bu Puji, dosen kimia analisa
kualitatif dan kimia sekolah II. Kami ditunjukkan berbagai macam timbangan
termasuk timbangan di ruang khusus yaitu timbangan analitik. Mata pelajaran ini
sembilan puluh persen masuk lab. Tapi bu Puji selalu enerjik bergerak ke sana
kemari, membuat kami jadi ikut ikutan bersemangat.
Pak Said, dosen kimia anorganik. Pelit
sekali dalam memberi nilai. Aku gak lulus mata kuliah ini dan harus mengulang
tahun berikutnya. Tapi alhamdulillah mata diklat evaluasi lulus. Pelajaran penting
dari pak Said, “Make the best”
Pak Said ini motivator juga. Dalam berbagai
kesempatan beliau selalu membakar semangat kami dengan “Make The Best”-nya. Dengan
ceritanya belajar di luar negeri.
Yang juga selalu kuingat adalah bu
Roes Kusno. Beliau gemuk dengan kacamata yang ada talinya. Mata kuliahnya Kimia bahan Pangan. Mata kuliah
pilihan, tapi serem.
Beliau juga mengampu mata kuliah
micro teaching. Kami praktek mengajar siswa beneran di studio jurusan, dishoting
setelah itu diputar di kelas, ditonton bareng-bareng. Didiskusikan bareng-bareng.
Wah habis-habisan deh dibabat sama bu Roes.
Anda calon guru SMA lo ingat itu! Apersepsinya,
pertanyaannya, waktu jeda, bahasanya. Jangan seperti guru TK!
Profesor Tresna. Lembut dan
simpatik. Beliau selalui didampingi dosen muda yang cantik, bu Susana. Prof
Tresna selalu memberi tugas kami dengan materi berbahasa Inggris. Mata
kuliahnya Kimia Sekolah III dan Orlab. Karena minimnya literatur kami, kami
harus menyambangi rumah beliau untuk meminjam buku buku beliau.
Dari yang kuingat semua tentang
dosen dosenku, rumah rumah mereka sangat sederhana. Rumah Pak Habib di
Pecindilan, rumah prof tresna, rumah pak Pak Basuki sangat sederhana. Di rumah sederhana itu
selalu banyak tumpukan buku-buku. Tampaknya harta utama mereka adalah buku. Di mataku,
semua itu keren. Beliau adalah orang-orang yang rajin belajar.
Masih banyak guru yang tak bisa
kuingat. Bukan karena aku tidak menghargai beliau tapi karena keterbatasanku. Semoga
beliau selalu mendapat rahmatNya. Semoga beliau selalu mendapat pahala yang
setimpal atas dedikasinya.
Selamat hari guru untuk semua guru. Semoga
kita menjadi guru yang amanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar