Sabtu, 12 Juli 2014

Jangan abaikan kesempatan pertama

Aku menjalani masa-masa kuliahku dengan baik, menurutku. Setiap tugas kukerjakan dan aku mendapatkan nilai yang pantas untuknya. Skripsi aku selesaikan tepat pada waktunya dan akupun mendapat nilai memuaskan.  Sungguh besar energi yang aku dedikasikan untuk masa masa belajarku.

Begitu lulus kuliah, aku ditawari pekerjaan oleh salah seorang temanku. Pekerjaan itu cukup bagus dan tentu diminati banyak orang. Tapi aku ingin rehat dulu setelah mengerahkan semua kemampuanku untuk menyelesaikan studiku. Aku ingin menikmati "hari-hari nyaman" tanpa beban. Sebentar saja. Nanti tiga empat bulan kemudian  energiku akan pulih dan aku siap mengambil kesempatan untuk bekerja.

Itu adalah curhat-an salah seorang teman lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sampai saat ini dia (temanku itu) masih tetap dalam "hari-hari nyaman" - nya yang kemudian menjadi sangat tidak nyaman. Ia sudah berusaha mencari pekerjaan kemana-mana tetapi tak satupun ia dapatkan.


Ini seperti sebuah analogi yang lain. Aku pernah mendapat nasehat dari salah seorang budeku. Saat itu aku bersilaturahim ke rumah beliau. Silaturahim saat lebaran. Tradisi yang selalu kami pegang teguh. Berkunjung ke rumah saudara-saudara saat lebaran tiba, menyambung tali silaturohim. Kami sudah merencanakan rute perjalanan dari rumah. Dalam satu hari kami mentargetkan untuk mengunjungi beberapa keluarga, dan itu menghabiskan waktu seharian penuh.

Nah rumah budeku itu adalah rumah pertama yang kami kunjungi. Hari masih agak pagi. Bude menawarkan makan kepada kami, padahal kami masih kenyang karena sudah sarapan. Ketika aku menolaknya secara halus, dengan muka serius bude berkata:
"Ojo nolak rejeki nduk, ora ilok"
"Nggih to bude?"
Bude menggangguk dan memulai nasehatnya
"Sing uwis-uwis lek sampeyan nolak rejeki, sampeyan ora oleh rejeki dino iki"
Selanjutnya bude menguraikan panjang lebar nasehatnya. Intinya, menolak rejeki itu adalah perilaku yang tidak santun. Bisa berdampak buruk pada diri kita sendiri.

Aku juga pernah mengutip kata-kata Mario teguh dalam stausku. Bunyinya kira-kira begini: orang yang menolak gaji kecil pantas untuk tidak mendapat pekerjaan selamanya.

Aku melihat ada benang merah dari pengalaman belajar ini. Jangan abaikan kesempatan pertama. Ini bisa dibayangkan seperti pintu gerbang sebuah istana. Kalau kita ingin memasuki pintu-pintu dalam istana itu, pintu pertama yang harus kita buka adalah pintu gerbangnya. Baru setelah kita buka pintu gerbang dan kita melewatinya, maka kita akan mendapatkan pintu-pintu lain dalam istana itu.

Coba bayangkan kalau anda tidak mau buka pintu gerbangnya. Atau ketika anda ditawari masuk melalui pintu gerbang itu anda menolak. Maka sudah pasti anda tidak dapat membuka pintu-pintu lain dalam istana itu meskipun anda sangat menginginkan.

Banyak diantara kita yang tidak menyadari hal ini. Hanya karena melihat kesempatan pertama itu sesuatu yang kurang "wah" maka kita menolaknya. Misalnya anda mendapat tawaran pekerjaan ketika anda baru lulus kuliah. Biasanya tawaran itu tidak sesuai dengan harapan. Gajinya kecil. Tempat kerjanya jauh. Pekerjaannya tidak menyenangkan dan lain sebagainya. Tapi sekali lagi ini adalah kesempatan pertama. Bisa jadi melalui kesempatan pertama inilah anda akan mendapatkan kesempatan-kesempatan yang lain.

Jadi pengen curhat nih. Dulu begitu lulus kuliah, aku melamar menjadi guru tidak tetap di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Yah karena aku mengantongi ijazah S1 Pendidikan Kimia maka yang aku bidik ya SMA, SMP atau yang sederajat. Banyak sudah lamaran aku kirim ke sekolah-sekolah tersebut tetapi tak satupun yang memberi jawaban, baik menolak ataupun menerima.

Nah pada saat penantian itu datanglah tetanggaku, seorang pengurus Muslimat. Setelah bertanya tentang latar belakang pendidikanku, ia menawariku menjadi guru tidak tetap di MI filial di desaku. Sekolah sederajat dengan SD. Jauh dilubuk hatiku aku mengeluh, kok ngajar di MI? (Saat itu masih jarang lulusan S1 yang mengajar di MI/SD). Tapi dorongan dalam hati untuk menerimanya jauh lebih kuat. Maka aku menerimanya dan jadilah aku guru MI. Itupun bukan MI induk.

Aku bekerja sebaik mungkin. Tidak lama setelah itu aku diminta mengajar di MI Induk. Kepala sekolah sering memberi tugas dan alhamdulillah aku dapat menyelesaikan dengan baik. Semakin banyak tugas diberikan, semakin banyak kesempatan untuk mengamalkan ilmu. Semakin banyak orang-orang yang aku kenal dan semakin banyak pihak-pihak yang rela hati memberikan kesempatan. Tidak hanya kesempatan mengajar di jenjang pendidikan lebih tinggi yang berdatangan tetapi juga kesempatan mengikuti program-program menarik karena rekomendasi dari orang-orang yang senang bekerjasama denganku. 

Sering aku membayangkan, apa jadinya kalau aku mengabaikan kesempatan pertama itu hanya karena tidak sepadan dengan ijazah yang kumiliki. Mungkin aku kehilangan kesempatan-kesempatan menarik berikutnya.

Anda boleh membuktikan pesan penting  ini: Jangan abaikan kesempatan pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar