Kejadian hari
ini mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku adalah
seorang pengajar di sebuah Madrasah Aliyah swasta. Hari itu aku duduk
berhadapan dengan salah seorang siswa di ruang tamu sekolah. Dia menghadangku
dan memaksa untuk “berbicara” tentang
sesuatu hal. Dari pantulan rona di wajahnya aku merasa bahwa siswa ini memendam
kejengkelan yang super hebat.
“Saya mohon
sekolah ini mempertimbangkan hukuman untuk
Khoirul, siswa kelas III IPS!” katanya dengan suara direndah-rendahkan.
“Kelas III IPS
berarti teman satu kelasmu. Siswa yang mendapat hukuman adalah siswa yang
melanggar tata tertib. Pertimbangan
seperti apa yang kamu maksud?”
Siswa yang
disebutkan itu adalah siswa yang selalu terlambat. Sesuai dengan tata tertib
yang berlaku siswa yang terlambat akan mendapat hukuman dari Sie Tatib.
“Saya mohon, Khoirul
dibebaskan dari hukuman?”
“Mengapa? Semua
siswa yang terlambat mendapatkan hukuman yang sama. Fungsi hukuman itu adalah
menyadarkan mereka akan kesalahan yang
mereka lakukan”
“Untuk Khoirul
saja bu, saya mohon dipertimbangkan”
Selanjutnya
pembicaraan itu menjadi sebuah perdebatan yang cukup sengit. Rodli, nama siswa
yang menghadap saya pagi itu meminta sekolah membebaskan Khoirul dari hukuman
karena alasan keterlambatan khoirul adalah alasan yang layak untuk
dipertimbangkan. Khoirul ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya.
Pekerjaannya setiap pagi adalah mengambil nira dari pohon kelapa. Pekerjaan itu
baru selesai jam 07.00. Jadwal itu sudah pasti. (Aku baru tahu bahwa
pengambilan nira yang tidak konsisten mempengaruhi jumlah dan kualitas nira
yang dihasilkan). Itu sebabnya Rodli bersikukuh memintakan perlakuan istimewa
untuk Khoirul. Ia berdalih, alasan keterlambatan Khoirul ini lebih bisa
dimaklumi daripada alasan keterlambatan siswa-siswa yang lain.
“Di sekolah ini
tidak ada diskrimasi. Aturannya jelas siapa yang melanggar tata tertib akan
mendapatkan sangsi. Khoirul sedang belajar tentang bagaimana menempatkan diri
pada sistim yang di dalamnya ada aturan. Dia sedang belajar taat aturan. Yakinlah bahwa Khoirul akan baik-baik saja”
Rodli keluar
ruangan dengan muka masam. Dia adalah sahabat Khoirul yang ingin memperjuangkan
sahabatnya, meski Khoirul sendiri (sahabat yang diperjuangkannya itu) “nyaman-nyaman”
saja. Setidaknya sampai mereka menyelesaikan studi di Madrasah itu Khoirul
tidak pernah komplain dengan hukuman yang dijalaninya setiap pagi.
Hari ini, kami
kedatangan orangtua siswa istimewa. Kukatakan istimewa karena dia adalah
pelanggan Sie Tatib kami. Tingkat ketidakhadirannya tanpa keterangan sangat
tinggi. Keaktifannya di kelas saat menerima pelajaranpun sangat rendah. Dia
(sebut saja Oky) seperti tidak punya motivasi untuk belajar. Kalaupun dia hadir
di kelas dia hanya tidur atau bengong saja. Banyak nilai yang kosong, baik
nilai tugas, nilai praktek maupun nilai ulangan. Terakhir, saat praktek kerja industripun Oky sering sekali
tidak masuk. Ketidakhadirannya selama hampir dua bulan ini saja sudah 16 kali,
dengan alasan “MALAS”.
Kedatangan orang
tua Oky ke sekolah adalah untuk memohon agar “kesalahan” Oky dimaklumi. Jika
Oky mendapatkan sangsi, mereka memohon sangsi itu diperingan. Syukur-syukur
ditiadakan. Mereka melakukan itu dengan berbagai cara. Mulai dari berbicara
dengan nada rendah sampai berbicara dengan nada tinggi atau marah-marah.
Kurasa ini
adalah masalah pembelajaran hidup. Hal yang tak bisa dipungkiri oleh siapapun
adalah bahwa di setiap keadaan dan dimanapun kita berada kita selalu dihadapkan
pada aturan.
Salah satu kriteria dari daya hidup (kemampuan untuk bertahan hidup) adalah
kemampuan kita untuk bersahabat dengan aturan. Ada hukum alam yang berlaku secara konsisten,
bahwa siapa yang tidak taat aturan akan tertolak. Ini mungkin sejalan dengan yang kita pelajari di SD dulu tentang ciri-ciri makhluk hidup. Salah
satu ciri makhluk hidup adalah: Adaptasi atau menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Dalam kehidupan sosial, lingkungan ini bisa dimaknai sebagai tata
aturan.
Aku melihat
disinilah banyak orang tua melakukan kesalahan fatal. Dengan dalih kasih
sayang, mereka tidak mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk bersahabat dengan aturan (baca: taat aturan). Sebaliknya tanpa mereka sadari justru mereka
mengajarkan kepada anak-anak mereka bagaimana mengelabui aturan agar seolah-olah terhindar dari masalah.
Orangtua Oky
hanyalah salah satu dari sekian banyak orang tua yang tidak menyadari
kesalahannya. Beberapa waktu yang lalu
kami dihebohkan oleh surat ijin seorang siswa. Dari berbagai sumber kami
mendapat informasi bahwa siswa tersebut tidak masuk karena pergi ke suatu
tempat untuk bersenang-senang. Tetapi surat ijin yang disampaikan ke sekolah
adalah surat ijin dengan alasan sakit. Surat itu ditandatangani oleh
orangtuanya sendiri. Ketika dilakukan klarifikasi kepada siswa yang
bersangkutan, siswa tersebut mengaku bahwa ketidak hadirannya disekolah bukan
karena sakit tetapi karena main. Dan
ketika orangtua diminta datang ke sekolah
untuk dimintai keterangan, beliau bersikukuh mengatakan bahwa putranya
tidak masuk sekolah karena sakit.
Orangtua ini
ingin membersihkan catatan kehadiran anak mereka dari status alpa. Jumlah alpa
tertentu bisa menentukan nilai kepribadian siswa dan bisa menghambat mereka
untuk naik tingkat atau naik kelas. Di kesempatan lain ada orangtua yang datang
ke sekolah untuk memberikan penjelasan panjang lebar mengapa putranya melakukan
pelanggaran. Tujuannya adalah agar anak
mereka tidak mendapatkan sanksi dari sekolah.
Tampaknya orang
tua ini terlalu berlebihan mengkhawatirkan keadaan anaknya. Mereka tidak
memahami esensi dari sanksi yang diberikan kepada anak-anak saat mereka
melakukan pelanggaran tata tertib. Bila dilihat secara fisik, sanksi ini memang
membuat si penerima sanksi menjadi tidak nyaman. Tetapi dibalik pemberian
sanksi ini ada tujuan yang ingin dicapai, yaitu penyadaran diri akan status mereka sebagai bagian dari kehidupan sosial. (Pada usia tertentu pemahaman salah-benar
diperoleh dari adanya sanksi/penghargaan).
Anda bisa bayangkan, pelajaran apa yang akan
diperoleh oleh anak-anak yang mendapatkan over
protective dari orangtuanya. Dia akan menjadi orang yang selalu bersembunyi
dibalik bayang-bayang orangtuanya, tidak memiliki rasa percaya diri, mudah
menyerah dan tidak bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Saat orang
tua mereka masih ada, mereka nyaman. Tetapi setelah orangtua mereka tidak ada
atau mereka hidup jauh dari orangtua, maka mereka lemah.
Jika anda para
orangtua, anda akan menderita bila suatu ketika, saat anda lemah, anda masih harus menyaksikan putra kesayangan anda
lebih lemah dari anda, terpuruk dan tidak bahagia. Ketidakbahagiaan
itu disebabkan karena daya hidup mereka lemah.
Jika anda para
orangtua mana yang menjadi pilihan anda, menyaksikan ketidaknyamanan putra anda
di masa mudanya (karena tempaan) atau
menyaksikan penderitaan putra anda dimasa tua mereka karena mereka tidak punya
kekuatan menghadapi kesulitan hidupnya?.
Sebelum semuanya terlambat, tentukan pilihan anda, sekarang juga!
Bacaan yang direkomendasikan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar