Kamis, 31 Januari 2013

Tigapuluh Tahun Yang Lalu

sumber gambar dari sini


Hari ini ada peristiwa memilukan. Salah seorang siswa diminta pulang ke rumah sebelum waktunya karena sang ibu meninggal dunia. Bukan karena sakit, tetapi karena kecelakaan saat sang ibu akan pergi bekerja. Menurut informasi yang saya terima, pagi tadi kira-kira jam setengah tujuh, Pak X, ayah siswa tersebut mengantar istrinya (ibu siswa) pergi bekerja. Ibu siswa ini bekerja sebagai karyawan sebuah home industri produsen makanan khas Blitar, Opak Gambir. Jarak antara rumah mereka dengan tempat si ibu bekerja tidak terlalu jauh. Kurang lebih 2 kilometer. Untuk sampai ke tempat pekerjaannya itu mereka harus melewati jalan utama yang pada pagi hari selalu padat kendaraan.
Saat akan menyeberang jalan, suami istri yang berboncengan naik sepeda motor ini tertabrak kendaraan dari belakang. Akibat kecelakaan itu mereka berdua terjatuh. Sang ibu meninggal saat dilarikan ke rumah sakit, sedangkan sang ayah pingsan dan menderita luka-luka di pelipis dan kakinya.
Berita segera sampai ke sekolah. Seseorang yang menyatakan sebagai keluarga korban menjemput ke sekolah dan mengabarkan terjadinya peristiwa tersebut. Pihak sekolah menyanggupi untuk mengantarkan siswa karena dikhawatirkan siswa tidak bisa mengendalikan emosi.
Peristiwa tersebut mengingatkanku pada kejadian tigapuluh tahun yang lalu. Aku masih ingat, saat itu bulan Oktober. Aku duduk dibangku kelas III SMP, semester lima. Pagi itu pelajaran matematika. Gurunya bernama Pak Rifai. Guru matematika yang sangat pendiam. Saat kami asyik mengerjakan soal, Pak Bon  datang mengetuk pintu dan membawa surat panggilan. Beberapa saat kemudian Pak Rifai memanggil namaku. Aku diminta maju ke depan. Kata pak Bon, aku harus ke kantor, menemui kepala sekolah.  

 Aku merasa ada sesuatu. Beberapa hari terakhir, ibu yang dirawat di rumah sakit memang dinyatakan kritis. Jangan-jangan ini berita ibu meninggal. Tapi aku segera menepisnya dan berlari ke kantor kepala sekolah untuk memastikan. Di pintu ruang kepala sekolah aku melihat kepala sekolah sedang  berbicara dengan seseorang. Begitu menyadari kehadiranku seseorang itu membalikkan badan, dan tahulah aku bahwa yang berbicara dengan kepala sekolah itu Pak Basir, teman ibu.
Aku bisa menebak maksud kedatangannya. Pasti hal yang sangat kutakutkan itu benar-benar terjadi. Ibu meninggal. Maka tanpa menunggu penjelasan pak Basir aku segera balik badan dan berlari ke kelas. Di depan kelas III C aku hampir menabrak Edi yang berambut keriting. Begitu sampai di kelas, aku menghadap pak Rifai yang masih berada pada posisi seperti ketika aku keluar kelas, duduk di kursi guru, mengawasi murid-murid yang sedang mengerjakan soal.
“Maaf pak, saya harus pulang. Ibu saya….”
Kulihat pak Rifai mengangguk. Aku segera berlari menuju bangkuku dan mengambil tas, setelah itu ngacir ke luar. Kurasa aku tidak menangis saat itu. Aku berlari kencang menerobos apa saja. Aku mengambil jalan pintas, menerobos pemakaman umum, melewati tanah pekarangan orang agar bisa segera sampai ke rumah. Aku terus berlari dan tidak peduli apakah hal itu membuatku capai atau tidak. Sampai di rumah kulihat beberapa orang sibuk mengatur meja untuk tempat jenazah. Mereka adalah tetangga-tetanggaku. Tidak ada jenazah di sana. Berarti ibu masih di rumah sakit.
Beberapa saat kemudian ada mobil datang menjemputku. Pengemudi mobil itu adalah pakde Prayit, suami kakak ibuku. Pak de Prayit menjelaskan bahwa jenazah ibu akan dimakamkan di desa nenekku, atas permintaan keluarga ibu. Aku dijemput untuk ke rumah nenek. 
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Yang aku tahu aku harus mengikuti apa saja yang dikatakan mereka para orang tua. Aku melihat banyak orang menangis. Beberapa diantara mereka sangat sibuk. Aku melihat nenekku yang bertubuh kecil tapi sangat gesit mengurus semuanya. Kain panjangnya diangkat hampir setinggi lutut dan bolak balik keluar masuk rumah. Beliau ikut memandikan mayat ibuku. Aku tidak berani mendekat. Jujur, yang kurasakan saat itu adalah takut. Yah aku takut. Dalam benakku mayat adalah sesuatu yang sangat menakutkan.
Aku mencoba mengingat wajah ibu di saat-saat terakhir sebelum beliau meninggal. Beliau teramat lemah dengan penyakitnya yang sudah semakin parah. Ibu tidak bebas makan apa saja yang menjadi kesukaannya. Di saat-saat terakhir aku melihat kepasrahan di wajahnya yang memucat. Kata ibu, nduk selama ibu menjadi perawat, hampir tidak pernah terjadi penderita liver parah seperti ini bisa sembuh. Kamu harus siap bila sewaktu-waktu ibu meninggal. Kamu dan kakakmu mewarisi semua peninggalan ibu. Itu kata-kata ibu. Aku tidak tahu apa yang ibu rasakan. Sementara yang kurasakan sendiri, adalah kecewa.  Yah aku kecewa pada keadaan yang membuatku menjadi seperti ini. Belum puas rasanya aku menikmati “ibu”. Lima tahun terakhir, sejak ibu sakit-sakitan, seperti ada garis batas antara aku dan ibu. Sekarang, bukan hanya garis batas, tetapi lebih dari itu.
Sepulang dari kuburan aku menangis sepanjang jalan. Kukatakan pada diriku sendiri bahwa sekarang tidak ada lagi orang yang menghukum karena kesalahan yang aku lakukan.  Kusadarkan diriku bahwa aku kehilangan ibu. Tapi perasaan itu tidak juga muncul. Sekali lagi aku harus jujur bahwa aku sebetulnya tidak sepenuhnya bersedih. Aku tidak merasa bahwa aku kehilangan ibu meskipun aku sudah berusaha menyadarkan hatiku bahwa aku benar-benar kehilangan ibu.
Sampai suatu hari ketika aku pulang sekolah. Aku mampir ke pasar dan bertemu dengan beberapa penjual langganan ibu. Mereka masih mengenaliku karena aku sering ikut ke pasar bersama ibu. Ada penjual sayur di pojok bedag. Ada penjual sompil yang menjual dagangannya di dekat sumur di tengah pasar. Mereka menyapaku dan memberiku sebagian dagangan mereka.  Beberapa aku tolak karena bawaanku sudah amat banyak. Aku tiba-tiba ingin segera pulang. Aku ingin ceritakan siapa saja yang kutemui di pasar dan apa saja yang mereka katakan kepada ibu. Aku harus segera pulang dan bertemu ibu.
Maka begitu sampai dirumah, kulempar tasku dan aku berteriak-teriak memanggil-manggil ibu. Kulakukan itu sambil berkeliling, melongok setiap kamar dan terus memanggil ibu. Sampai nenekku menghentikanku, menyuruhku tenang dan membaca istighfar. Setelah itu nenek memelukku sambil menangis tersedu-sedu. Saat itulah aku menyadari bahwa aku sudah kehilangan ibu. Panggilanku tak akan mendapat jawaban karena ibu sudah tiada. Yah aku tidak punya ibu. Aku kehilangan ibu. Aku tak akan pernah bertemu dengannya, tidak dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit. Aku tak akan pernah melihatnya lagi. Pada saat itu, hatiku terasa amat sangat pedih. Inilah pertama kali kurasakan pedihnya kehilangan ibu.
Tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan kehilangan itu berangsur-angsur pulih.  Meskipun secara fisik  aku tak melihatnya, ibu tak pernah benar-benar hilang dari hatiku. Aku tetap mengenangnya. Disaat aku merasa sedih dan harus memutuskan sesuatu, aku selalu membayangkan ibu ada disampingku. Saat aku senangpun aku selalu membayangkan ibu menyambutku dengan senyum dan kebahagiaannya. Semakin hari semakin banyak kata-kata ibu yang kuingat dan kupahami kemudian apa maksudnya.
Sampai saat inipun aku sering menceritakan “mbah putri”  kepada  anak-anakku. Meski mereka tak pernah tahu bagaimana wajah “mbah putri” mereka tapi aku berharap mereka mengenalnya sebaik aku mengenal ibu.  Bagiku  ibuku memang tak pernah benar-benar mati. Ia selalu hidup dihatiku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar