Jumat, 12 Februari 2010

KERIKIL DAN MUTIARA


Konon ada sekelompok pengembara yang melakukan perjalanan bersama. Mereka berasal dari berbagai wilayah yang berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang sama, yaitu menuju sebuah negeri yang berada di suatu tempat yaitu negeri harapan. Karena perjalanan mereka sangat jauh dan melampau rintangan yang sulit maka mereka memutuskan untuk melakukannya bersama-sama. Menurut berita yang mereka terima, di negeri harapan nanti mereka akan mendapatkan semua yang mereka inginkan. Impian mereka akan terwujud jika mereka sampai di sana. Setiap orang dari mereka mempunyai keinginan dan impian. Keinginan dan impian itu hanya akan mereka dapatkan bila mereka bisa mencapai negeri harapan. Untuk itulah meski mereka harus menempuh perjalanan yang sulit, mereka tetap bersikeras untuk mencapai negeri harapan.

Mereka sudah melakukan perjalanan yang cukup jauh. Mereka menyeberangi sungai, melewati hutan dan melintasi gurun yang tandus tetapi mereka belum juga sampai ke tempat tujuan. Rasa penat dan capai mulai mereka rasakan sehingga mengurangi semangat mereka. Bekal mereka sudah mulai berkurang. Air minum mereka tinggal sedikit lagi. Karena khawatir kehabisan bekal mereka mulai bertanya-tanya kapan mereka sampai di negeri harapan itu. Mereka saling bertanya tetapi tak satupun diantara mereka tahu kapan mereka akan sampai.
Kini mereka sudah mencapai suatu gurun yang sangat luas. Saat itu senja sudah mulai turun dan samar-samar mereka melihat di kejauhan sebuah cahaya.
“Hei ada cahaya! Siapakah diantara kalian yang rahu cahaya apakah itu?” salah seorang diantara mereka menunjuk ke arah cahaya.
Anggota rombongan yang lain tak ada yang menjawab. Mereka berebutan melihat cahaya yang ditunjukkan oleh pemimpin mereka. Mereka berusaha mencermati cahaya di kejauhan sana. Tetapi tak satupun dari mereka yang tahu, cahaya apa itu.
Pada saat mereka sedang asyik mempertanyakan cahaya itu, tiba-tiba suara derap kuda bergerak ke arah mereka. Kuda itu ditunggangi oleh seseorang berpakaian prajurit berselempang pedang. Tepat di depan mereka penunggang kuda itu menghentikan kudanya. Anggota rombongan saling merapat untuk menjaga segala kemungkinan. Tanpa turun dari kudanya, si penunggang kuda itu berkata dengan suara yang keras menggelegar.
“Aku adalah prajurit dari negeri impian. Cahaya yang kalian lihat itu adalah negeri impian. Aku diutus oleh penguasa negeri impian untuk mengabarkan kepada kalian bahwa tujuan kalian sudah dekat. Bila kalian meneruskan perjalanan sekarang maka kalian akan sampai di sana besok pagi. Bila kalian melakukan perjalanan besok pagi senja kalian akan sampai di sana. Selain itu aku diutus menyampaikan tiga hal kepada kalian yaitu, pertama kalian tidak akan bisa kembali setelah sampai di sana. Kedua, negeri impian akan memberi sesuai apa yang menjadi mimpi kalian meski itu tak pernah kalian ucapkan. Ketiga, selama perjalanan kalian melewati gurun di depan kalian, kalian harus memunguti kerikil yang kalian temukan. Kerikil itu harus kalian masukkan dalam kantong pelana kuda kalian. Sebelum aku pergi, adakah yang ingin kalian tanyakan?” tanya penunggang kuda itu kepada anggota rombongan.
Mendengar penjelasan si penunggang kuda, anggota rombongan saling berpandangan. Mereka sudah mendengar penjelasan si penunggang kuda. Hal pertama dan kedua sudah jelas. Mereka bisa menerima dengan baik. Tetapi hal ketiga membuat mereka bingung.
“Untuk apa kerikil-kerikil yang kita pungut itu nantinya?” salah seorang anggota rombongan memberanikan diri untuk bertanya.
“Aku tidak tahu” jawab si penunggang kuda itu.
“Berapa banyak kerikil yang harus kami kumpulkan?” tanya yang lain.
“Terserah kalian” jawab penunggang kuda.
“Bagaimana bila kami tidak mengumpulkan kerikil?”
“Kalian akan dihukum”
Itu adalah jawaban terakhir, karena setelah itu penunggang kuda membalikkan kudanya dan pergi meninggalkan mereka.
Sepeninggal si penunggang kuda, anggota rombongan itu terus membicarakannya. Yang menjadi topik pembicaraan mereka adalah tentang kerikil yang harus mereka kumpulkan sepanjang perjalanan mereka melintasi gurun. Sebagian besar diantara mereka mempersoalkannya. Mengumpulkan kerikil di gurun seluas itu tentu sebuah pekerjaan yang sangat menjengkelkan. Memungut kerikil di bawah terik matahari akan memperlambat perjalanan mereka dan memperlambat perjalanan mereka.
“Tetapi kita harus mengumpulkannya karena kalau tidak kita akan mendapatkan masalah” kata salah seorang anggota.
“Hanya kerikil dan itu sepertinya tidak terlalu penting” komentar yang lain.
“Benda yang tak ada nilainya”
“Ya lagi pula tujuan pemungutan kerikil itu tidak jelas. Penunggang kuda tadi tidak menjelaskannya”
“Mungkin sampai di sana dibuang begitu saja”
“Tidak ada batasan berapa banyak kerikil yang harus kita kumpulkan” sergah yang lain.
“Kalau begitu mengapa kita harus mengumpulkannya?”
Pertanyaan itu disambut dengan gelengan kepala dan bahu yang diangkat.
“Perintah yang tidak konsisten” Seseorang diantara mereka menyimpulkan.
Begitulah, sampai larut malam mereka masih tetap memperbincangkannya. Ketua rombongan memutuskan bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan keesokan paginya.
Menjelang pagi mereka bangun dan mempersiapkan diri. Mereka makan sisa makanan yang masih mereka miliki sebelum berangkat. Tak lupa mereka menyiapkan pelaja untuk tempat kerikil mereka.
Mereka bertebaran untuk melakukan perjalanan. Karena tugas yang harus mereka kerjakan, mereka tidak lagi bergerombol. Mereka saling berpencar. Mereka berjalan sambil mengamati sekeliling mereka. Mungkin di dekat kaki mereka ada kerikil dan mereka akan memungutnya. Pekerjaan yang sangat menjengkelkan.
Beberapa diantara anggota rombongan itu menggerutu saat tangannya memunguti kerikil. Mereka menganggap pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan konyol. Sebetulnya mereka tidak suka melakukannya tetapi mereka tidak bisa menolak tugas itu. Tetapi tidak semuanya bersikap begitu. Ada diantara mereka yang dengan telaten memungut kerikil-kerikil yang mereka temui saat mereka melakukan perjalangan. Meski mereka capai dan kepanasan tetapi mereka tetap memunguti kerikil yang mereka temui. Diantara mereka memungut beberapa kerikil saja, sekedar untuk melaksanakan kiwajiban. Ada diantara mereka yang hanya memungut kerikil tertentu. Ada yang memungut hanya yang terlihat saja tetapi ada juga yang memungut setiap kerikil yang ditemui sampai kantong pelana menjadi sangat berat.
Sebagaimana dikatakan oleh si penunggang kuda mereka sampai di negeri impian malam berikutnya. Di pintu gerbang mereka disambut oleh beberapa petugas. Petugas-petugas itu mengecek kerikil yang mereka kumpulkan. Setiap kerikil yang mereka kumpulkan diganti dengan sebutir berlian. Satu butir kerikil ditukar dengan satu butir berlian. Bila kerikil yang mereka kumpulkan sedikit maka berlian yang mereka peroleh juga sedikit. Sebaliknya bila kerikil yang mereka kumpulkan banyak, berlian yang akan mereka terima juga banyak.
Beberapa orang anggota rombongan itu mulai ada yang tertawa dan ada juga yang menangis. Mereka tertawa karena berlian yang mereka peroleh banyak sedangkan mereka yang bersedih dan menangis adalah mereka yang mendapatkan sedikit berlian. Mereka menyesal karena tidak mengumpulkan kerikil sebanyak-banyaknya.
Nasi sudah menjadi bubur. Mereka tidak bisa mengulangi perjalanan untuk mengumpulkan kerikil lagi.
Itulah gambaran dari perjalanan seorang siswa dalam menuntut ilmu. Menuntut ilmu bisa diibaratkan seperti pengembara yang memunguti kerikil dalam perjalanan mereka. Pada saat mencari ilmu mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah perbuatan konyol, tetapi di masa depannya nanti setiap kerikil itu akan ditukar dengan berlian-berlian kehidupan. Mereka yang beruntung adalah mereka yang mencari ilmu dengan ketabahan dan kesabaran.
Bagaimana dengan kalian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar