Rabu, 03 Februari 2010

BERSYUKURLAH DI SETIAP KEADAAN

Alhamdulillahhirobbil’alamin
Kututupkan kedua telapaktanganku yang terbuka ke sebagian besar mukaku. Telapak tanganku tak bisa menutup seluruhnya. Tetapi aku merasakan sebagian besar mukaku tertutup oleh telapak tanganku. Kutahan untuk beberapa lama keduanya di sana. Kurasakan persentuhan antara ujung-ujung jari tanganku dengan kulit yang menutupi keningku. Antara permukaan ruas-ruas jari tanganku dengan lekukan-lekukan wajahku. Sebagian kulit telapak tanganku bersentuhan dengan dingin air mata yang ada di pelupuk mataku. Air mata itu tidak cukup banyak untuk membasahi mukaku. Aku memang tidak menangis seperti biasa. Aku hanya menitikkan air mata.

Aku mengubah posisi dudukku. Semula aku bersila. Kini kuselonjorkan kakiku hingga ujung-ujung jari sampai pertengahan kedua betisku menyembul dari mukena. Kubiarkan saja. Kupandangi ujung kakiku dengan seksama. Aku mempunyai kaki yang sempurna. Di setiap tungkai aku mempunyai jari-jari yang tumbuh dengan sempurna. Kugerak-gerakkan otot jari kakiku. Jempolku bergerak. Begitu juga dengan jari-jariku yang lain. Kugesek-gesekkan jari satu dengan jari lainnya. Yah! Kakiku benar-benar sempurna. Terkelebat di benakku wajah Riko, bocah laki-laki berusia lima tahun yang seringkali muncul di toko kami. Bocah itu tidak bisa menelapakkan kakinya dengan sempurna. Telapak kakinya membengkok hingga sebagian punggung kaki kanannya harus menggantikan posisi telapak kakinya.Hal itu menyebabkan jalannya “kecincukan”. Pasti ia sangat tersiksa karena tidak bisa berlari secepat teman-temannya.
Kakiku sempurna. Aku bisa melakukan apa saja yang semestinya dilakukan oleh kaki-kaki sempurna yang lain. Bukankah itu sebuah anugerah? Bukankah itu sebuah kenikmatan? Anugerah yang tidak semua orang bisa menikmatinya seperti aku. Buktinya Riko, si bocah malang itu tidak bisa. Tidak pantaskah aku mensyukurinya?
Aku menghela nafas panjang. Kuhirup udara sebanyak aku memapu melakukannya. Untuk beberapa saat kubiarkan udara itu memenuhi rongga dadaku. Selanjutnya kuhembuskan udara itu kuat-kuat, sekuat aku bisa melakukannya. Kuulangi beberapa kali. Setiap kali kuhirup udara, kucoba meresapi sentuhan udara dengan bulu-bulu hidungku yang pasti merunduk seperti rumput-rumput di padang rumput tertiup angin topan. Aku masih bisa menghirup udara dan mengeluarkannya. Tubuhku masih merasakan nafas yang menjadi penopang kehidupanku. Aku masih hidup. Aku hidup. Bukankah itu sebuah anugerah. Anugerah! Tak pantaskah aku mensyukuri anugerah itu, sementara tak semua orang berkesempatan mendapatkannya.
Aku masih belum juga melepas mukenaku. Sebagian besar tubuhku tertutup oleh kain berwarna putih,penutup auratku saat menghadap-Nya. Menghadapnya saat mensucikan nama-Nya, meminta-minta belas kasih-Nya dan menghadapnya di saat Dia memanggilku nanti. Aku baru saja menunaikan shalat Ashar. Empat rakaat bagiku terasa belum cukup untuk melarikan kegundahan dan kegelisahan yang akhir-akhir ini sangat menderaku. Aku menambahnya dengan berlama-lama bermunajat kepada-Nya. Hanya pada saat sholat dan berdzikirlah perasaan gundah dan gelisah itu raib untuk sementara waktu.
“Ketika kita mendapat musibah, katakanlah: Alhamdulillah! Selanjutnya, tanyakan pada diri sendiri: apa ya yang bisa kita pelajari dari musibah ini” Kata-kata itu terngiang jelas ditelingaku. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang trainner dalam suatu pelatihan motivasi. Laki-laki muda berperawakan tinggi besar dengan lincah berjalan dari satu tempat ke tempat lain dengan gesit dan penuh energi, membuat peserta pelatihan terkesima dibuatnya. Trainer itupun bercerita tentang sebuah kisah.
Ia mengisahkan ada seorang ibu yang hidup dengan anaknya di suatu desa. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka mengandalkan sebidang tanah yang ditanami padi atau tanaman sejenisnya. Hasil dari sebidang tanah itu tidak seberapa, tetapi untuk hidup standart mereka tidak kekurangan. Kehidupan mereka cukup aman dari segi finansial meskipun tidak juga berlebihan.
Pada suatu hari, tanaman mereka diserang hama. Panen mereka gagal. Hasil panen yang biasanya dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka, kini tidak ada. Jangankan untuk mencukupi kebutuhan, untuk membayar hutang-hutang mereka saja tidak cukup. Bagi mereka, kegagalan panen ini adalah sebuah musibah. Mereka menderita karena kegagalan panen. Mereka harus menanggung hutang yang tidak sedikit jumlahnya.
Setelah berunding, si anakpun memutuskan untuk pergi merantau. Sementara si ibu tinggal di rumah. Mereka berharap perantauan anaknya dapat menolong mereka dari lilitan hutang.
Akhirnya si anakpun merantau ke kota. Ia bekerja pada seorang saudagar kaya. Ia mendapat upah untuk hidupnya dan membantu kehidupan ibunya di kampung. Si anak ini bekerja dengan ulet dan jujur sehingga ia disayangi majikannya. Gajinya secara bertahap naik dan iapun mendapat hadiah seekor kuda. Setelah dirasa uangnya cukup dan iapun mendapat ilmu berdagang, si pemuda pulang ke kampung halaman. Ia pulang dengan kebanggaan. Ia mendapatkan ilmu berdagang, mendapatkan wawasan yang cukup luas, mendapatkan kuda dan dapat membayar hutang-hutangnya.
Karena mendapat hadiah kuda, maka si pemuda itupun berlatih mengendarai kuda. kerajinannya berlatih kuda membuatnya terampil berkuda. Suatu hari pada saat sedang berkuda, kaki kudanya terjerembab dan mengakibatkan si pemuda ini jatuh terpelanting. Kakinya patah dan harus diamputasi. Kini si pemuda kehilangan salah satu kakinya. Ia berjalan dengan menggunakan penyangga.
Sebulan setelah kejadian itu, negara mereka diserang musuh. Setiap pemuda yang sehat dan tidak cacat diwajibkan maju perang. Musuh negara mereka adalah negara yang sangat tangguh. Pasukan mereka banyak yang tewas di medan pertempuran. Si pemuda selamat karena tidak diwajibkan ikut berperang.
“Bapak ibu, mari kita renungkan kisah si ibu dan anaknya yang saya ceritakan barusan. Cerita itu memang cerita rekaan saya. Tetapi cerita itu mewakili kehidupan kita yang nyata. Gagal panen adalah suatu musibah. Semua orang mengakui itu. Tetapi musibah itulah yang mengantarkan si pemuda kepada saudagar kaya sehingga ia mendapatkan ilmu berdagang dan mendapatkan seekor kuda. Musibahlah yang menjadi jalan turunnya anugerah. Kemudian kudalah yang menjadi jalan musibah berikutnya, di mana si pemuda harus kehilangan kakinya. Selanjutnya putusnya kakilah yang menyebabkan ia terbebas dari kewajiban berperang” begitu trainner pelatihan itu memaparkan panjang lebar.
Hidup adalah sebuah perjalanan. Kadang-kadang jalan yang kita lalui menanjak hingga membuat kita terengah-engah dan seperti kehabisan nafas. Mungkin bahkan membuat kita capai dan jatuh pingsan. Tetapi ada kalanya perjalanan itu menjumpai jalan yang landai dan menurun hingga tanpa melangkahpun kita bisa melaju. Jalan yang landai sering membuat kita lupa dan tanpa menyadari kita tergelincir.
Yang terpenting bagi kita adalah menentukan sikap yang benar terhadap jalan yang kita lalui, karena jalan menanjak akan mengantarkan kita pada jalan yang landai. Sebaliknya jalan landailah yang mengantarkan kita pada jalan menanjak. Musibah perlu disikapi dengan benar. Bukan diratapi, karena seringkali musibahlah yang menjadi penyebab datangnya anugerah.
Tetapi, betapa sulitnya menanamkan pemahaman itu dalam diri ketika musibah itu benar-benar datang menghampiri. Seperti yang terjadi padaku saat ini. Musibah ini benar-benar menghimpit, membuatku seperti kehilangan napasku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar